Salah satu film yang berkali-kali aku tonton dan tak ada bosan-bosannya, adalah "Kingdom of Heaven". Cukup banyak pelajaran terdapat dalam film ini, apalagi memang film ini adalah film sejarah. Dan sejarah, selalu menyimpan pelajaran-pelajaran besar bagi generasi selanjutnya.
Bukankah bangsa yang baik, ummat yang baik, adalah yang mengenal sejarahnya? Dan sejarah adalah pondasi utama daripada kemajuan sebuah peradaban. Tanpa memahami sejarah dengan baik, membuat sebuah bangsa, atau umat, mundur secara teratur. Dan itu kenyataan.
Nah, di antara sekian puluh scane yang membuatku terpukau, ada dua adegan yang sama yang membuatku teringat dengan sebagian guru-guruku. Momen saat Godfrey menempeleng Balian of Ibelin, di awal film, dan momen saat Balian of Ibelin menempeleng seorang remaja saat hendak mempertahankan Baitul Maqdis, di akhir perjuangan mereka sebelum Baitul Maqdis kembali ke tangan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dalam battle of jerusalem itu.
Dalam dua momen ini, keduanya (Godfrey dan Balian), mengucapkan kalimat yang sama setelah menampar. "Kamu tahu kenapa aku menamparmu? Biar kamu ingat aku."
Aku tertegun ketika mendengar kalimat itu, dan mendadak terngiang kalimat yang sama dari guru ngajiku waktu masih kecilku dulu, Ustadz Saifuddin. Sering kali beliau memukulku saat aku salah baca al-Qur'an, dan beliau bilang, "Kamu ngerti Wy? Besok kamu akan mengingatku dengan pukulan ini."
Aku juga teringat dengan guru Matematika-ku yang killernya minta ampun, maklum apalagi guru tinggalan pendidikan kolonial Belanda, Pak Mustofa, yang juga melakukan hal yang sama pada murid-muridnya saat gagal menjawab pertanyaan Matematika.
Dan soal tarbiyah (pendidikan jiwa) menggunakan media "pukul memukul" yang kualami (tentu saja bukan pukulan kekerasan, tidak ngawur dalam memukul, ada seninya) adalah yang paling aku ingat dari almarhum Guru Besarku, Abuya Assayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky.
Almarhum dikenang seluruh muridnya adalah justru dengan pukulan-pukulannya, bahkan seluruh muridnya selalu merindukan pukulan beliau. Sebagian senior bilang, pukulan Abuya, sekeras apapun, tidak akan mematikan, karena itu adalah pukulan menanamkan ilmu. (jangan coba-coba meniru tarbiyah model ini kalau bukan orang Arif Billah lho ya)
Boleh dibilang, dulu setiap aku mendapat giliran untuk memijit kaki beliau, maka entah pukulan pemukul lalat, siraman air, tempelengan, sodokan tongkat, sabetan tasbih, selalu aku terima dari beliau. Dan cerita senior-seniorku yang lain, jauh lebih "seram". Tapi kami justru menikmatinya dan merasakan kepuasan batin tersendiri sehabis itu.
Memang dalam kamus pendidikan, sangat tidak dibolehkan penggunaan kekerasan fisik, namun sesekali untuk meluruskan, hal itu diperbolehkan, dan tentu saja tidak pada tempat-tempat yang mengancam nyawa anak didik.
Tapi omong-omong, anak sekarang sepertinya terlalu manja, dikerasi sedikit saja oleh gurunya, sudah ngambek nggak ketulungan, ngamuk-ngamuk bahwa bapaknya saja nggak gituin dia.
Kalau boleh membandingkan, generasi sekarang tidak sekokoh generasi dulu. Tidak usah jauh-jauh, mungkin secara ketegaran fisik, kesabaran, generasiku jauh lebih baik daripada generasi adikku yang paling kecil.
Kembali pada "pukulan mengingatkan" yang aku tuliskan di awal catatan ini. Tentu saja ada tujuan khusus kenapa guru memukul, di samping tujuan jangka pendek, juga tujuan jangka panjang.
Kalau jangka pendek, jelas untuk mengingatkan kita dan membenahi dari kesalahan saat itu. Kalau jangka panjang, adalah adanya "irtibath ruuhi", (ikatan jiwa) yang terus tersambung antara murid dan guru, meski telah berpisah puluhan tahun.
Dan ikatan jiwa inilah target utama pendidikan model "aneh" ini, karena dengan itu, si murid akan selalu mengingat gurunya, dan pada akhirnya kemudian mendoakannya. Adakah yang lebih istimewa selain doa? Terutama jika telah meninggal, kiriman doa adalah bingkisan yang selalu ditunggu oleh siapapun di alam baka sana.
Dan memang seperti itu kenyataannya. Surveyku pada seluruh sahabatku yang masuk golongan kabel (kelompok anak bangku belakang), yang saat masa sekolah nakalnya laa haula wa laa quwwata illa billah, guru yang selalu mereka ingat adalah guru yang kerap menghukum dan menghajar mereka.
Memang saat dihukum, selesainya misuh-misuh, tetapi saat aku bertemu sahabat-sahabatku tadi, mereka semua menyatakan rasa berterima kasih tiada terkira pada para gurunya dulu, dan menyesal atas kenakalannya.
Bahkan satu sahabatku ada yang menangis tersedu sedan saat mendengar kabar bahwa guru yang kerap menempelengnya, meninggal dunia. Sebab dia tidak tahu bagaimana cara minta maaf atas kenakalannya dulu.
Pada akhirnya, yang terpenting dari semua itu adalah kenangan dan ingatan kita serta persambungan ruh kita dengan seluruh guru-guru kita, sehingga kita membalas jasa mereka (yang tidak mungkin terbalas) dengan untaian doa kita untuk mereka, sebagai bentuk daripada berbakti, memasukkan nama-nama mereka dalam doa kita, mengirim surat Fatihah. Bukankah orang kedua yang kita wajib berbakti padanya setelah orang tua adalah guru-guru kita?
Akhir catatan, untuk seluruh guru-guru kita, Al-Fatihah :)
Bukankah bangsa yang baik, ummat yang baik, adalah yang mengenal sejarahnya? Dan sejarah adalah pondasi utama daripada kemajuan sebuah peradaban. Tanpa memahami sejarah dengan baik, membuat sebuah bangsa, atau umat, mundur secara teratur. Dan itu kenyataan.
Nah, di antara sekian puluh scane yang membuatku terpukau, ada dua adegan yang sama yang membuatku teringat dengan sebagian guru-guruku. Momen saat Godfrey menempeleng Balian of Ibelin, di awal film, dan momen saat Balian of Ibelin menempeleng seorang remaja saat hendak mempertahankan Baitul Maqdis, di akhir perjuangan mereka sebelum Baitul Maqdis kembali ke tangan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dalam battle of jerusalem itu.
Dalam dua momen ini, keduanya (Godfrey dan Balian), mengucapkan kalimat yang sama setelah menampar. "Kamu tahu kenapa aku menamparmu? Biar kamu ingat aku."
Aku tertegun ketika mendengar kalimat itu, dan mendadak terngiang kalimat yang sama dari guru ngajiku waktu masih kecilku dulu, Ustadz Saifuddin. Sering kali beliau memukulku saat aku salah baca al-Qur'an, dan beliau bilang, "Kamu ngerti Wy? Besok kamu akan mengingatku dengan pukulan ini."
Aku juga teringat dengan guru Matematika-ku yang killernya minta ampun, maklum apalagi guru tinggalan pendidikan kolonial Belanda, Pak Mustofa, yang juga melakukan hal yang sama pada murid-muridnya saat gagal menjawab pertanyaan Matematika.
Dan soal tarbiyah (pendidikan jiwa) menggunakan media "pukul memukul" yang kualami (tentu saja bukan pukulan kekerasan, tidak ngawur dalam memukul, ada seninya) adalah yang paling aku ingat dari almarhum Guru Besarku, Abuya Assayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky.
Almarhum dikenang seluruh muridnya adalah justru dengan pukulan-pukulannya, bahkan seluruh muridnya selalu merindukan pukulan beliau. Sebagian senior bilang, pukulan Abuya, sekeras apapun, tidak akan mematikan, karena itu adalah pukulan menanamkan ilmu. (jangan coba-coba meniru tarbiyah model ini kalau bukan orang Arif Billah lho ya)
Boleh dibilang, dulu setiap aku mendapat giliran untuk memijit kaki beliau, maka entah pukulan pemukul lalat, siraman air, tempelengan, sodokan tongkat, sabetan tasbih, selalu aku terima dari beliau. Dan cerita senior-seniorku yang lain, jauh lebih "seram". Tapi kami justru menikmatinya dan merasakan kepuasan batin tersendiri sehabis itu.
Memang dalam kamus pendidikan, sangat tidak dibolehkan penggunaan kekerasan fisik, namun sesekali untuk meluruskan, hal itu diperbolehkan, dan tentu saja tidak pada tempat-tempat yang mengancam nyawa anak didik.
Tapi omong-omong, anak sekarang sepertinya terlalu manja, dikerasi sedikit saja oleh gurunya, sudah ngambek nggak ketulungan, ngamuk-ngamuk bahwa bapaknya saja nggak gituin dia.
Kalau boleh membandingkan, generasi sekarang tidak sekokoh generasi dulu. Tidak usah jauh-jauh, mungkin secara ketegaran fisik, kesabaran, generasiku jauh lebih baik daripada generasi adikku yang paling kecil.
Kembali pada "pukulan mengingatkan" yang aku tuliskan di awal catatan ini. Tentu saja ada tujuan khusus kenapa guru memukul, di samping tujuan jangka pendek, juga tujuan jangka panjang.
Kalau jangka pendek, jelas untuk mengingatkan kita dan membenahi dari kesalahan saat itu. Kalau jangka panjang, adalah adanya "irtibath ruuhi", (ikatan jiwa) yang terus tersambung antara murid dan guru, meski telah berpisah puluhan tahun.
Dan ikatan jiwa inilah target utama pendidikan model "aneh" ini, karena dengan itu, si murid akan selalu mengingat gurunya, dan pada akhirnya kemudian mendoakannya. Adakah yang lebih istimewa selain doa? Terutama jika telah meninggal, kiriman doa adalah bingkisan yang selalu ditunggu oleh siapapun di alam baka sana.
Dan memang seperti itu kenyataannya. Surveyku pada seluruh sahabatku yang masuk golongan kabel (kelompok anak bangku belakang), yang saat masa sekolah nakalnya laa haula wa laa quwwata illa billah, guru yang selalu mereka ingat adalah guru yang kerap menghukum dan menghajar mereka.
Memang saat dihukum, selesainya misuh-misuh, tetapi saat aku bertemu sahabat-sahabatku tadi, mereka semua menyatakan rasa berterima kasih tiada terkira pada para gurunya dulu, dan menyesal atas kenakalannya.
Bahkan satu sahabatku ada yang menangis tersedu sedan saat mendengar kabar bahwa guru yang kerap menempelengnya, meninggal dunia. Sebab dia tidak tahu bagaimana cara minta maaf atas kenakalannya dulu.
Pada akhirnya, yang terpenting dari semua itu adalah kenangan dan ingatan kita serta persambungan ruh kita dengan seluruh guru-guru kita, sehingga kita membalas jasa mereka (yang tidak mungkin terbalas) dengan untaian doa kita untuk mereka, sebagai bentuk daripada berbakti, memasukkan nama-nama mereka dalam doa kita, mengirim surat Fatihah. Bukankah orang kedua yang kita wajib berbakti padanya setelah orang tua adalah guru-guru kita?
Akhir catatan, untuk seluruh guru-guru kita, Al-Fatihah :)