Sepuing Kenangan dengan Sang Guru Besar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki

Sepuing Kenangan dengan Sang Guru Besar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki
Sepuing Kenangan dengan Sang Guru Besar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki - Momenku . Catatan ini, adalah sepuing kenanganku bersama Guru Terbesar dalam kehidupanku, Abuya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliky, Qaddasallah Sirroh. Puing-puing kenangan yang justru merupakan bagian terpenting dari seluruh hidupku. Tanpanya, aku tidak akan pernah ada.

Sejenak memang kebersamaanku dengan beliau. Aku resmi diakui dan bergabung sebagai murid khusus (thullab dakhili) beliau, sekitar 7 bulan sebelum kembalinya beliau ke hadirat Allah Ta'ala. Kesejenakan yang justru merupakan anugerah indah dan agung yang aku terima.

Abuya (ayahku), itulah panggilan kami, seluruh murid-muridnya kepada beliau. Bagi kami, beliau tidak sekedar Guru, namun juga orang tua, bahkan lebih dari orang tua kami sendiri. Tak mampu aku gambarkan, yang pasti, kami pun bahkan sampai terlupa dengan orang tua kandung kami sendiri setelah menjadi anak-anak beliau.

Sebelumnya, untuk menjadi murid Abuya, menjadi pelajar yang tergabung di Ribath atau Masyru' Al-Maliky Rusaifah, adalah puncak impian dari seluruh penuntut ilmu agama di Tanah Air. Ma'had ini, bagi dunia pesantren, ibaratnya Sorbonne di Prancis, Harvard di Amerika, dan Oxford di Inggris. Ma'had yang benar-benar bergengsi dan prestisius.

Sepuing Kenangan dengan Sang Guru Besar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki


So, bisa masuk ke Ma'had ini, adalah sebuah anugerah yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sangat terkenal sekali tingkat kesulitan untuk bisa masuk ke Ma'had ini, sampai saat ini pun trackrecord itu masih bertahan. Kenyataan inilah yang terkadang menjadi kebanggaanku pribadi, bahwa aku yang bodoh ini, bisa tergabung di Ma'had paling elit sedunia.

Lembaga lainnya, anda daftar hari ini, masuk hari ini juga bisa, tapi Rusaifah? Jangan harap, meski anda anak presiden sekalipun, anak wali, atau anak Kyai tenar.

Jujur, dan dengan tanpa ada rasa pongah, siapapun anak Indonesia yang belajar di Timur Tengah, di manapun, mulai Sudan, Libya, Mesir, Syria, Yaman, atau bahkan yang di Saudi sendiri, mengakui bagaimana nama besar Abuya sekaligus Ma'had ini yang auranya menggetarkan siapapun.

Ukuran utama untuk bisa masuk ke Ma'had ini, adalah tidak sekedar tingginya prestasi akademis, kekuatan ilmiah, penguasaan bahasa Arab dan kitab, kemampuan hafalan, tetapi juga kesiapan jiwa untuk mau tinggal dengan batas minimal 10 tahun dengan tanpa pulang sama sekali dalam keadaan apapun, kesiapan total untuk berkhidmah, serta yang terpenting adalah, kejernihan hati dan jiwa. Barometer yang pemenuhan kriterianya sudah bukan ditangani oleh orang-orang biasa lagi.

Maka, jika ada pelajar di Rusaifah pulang kurang dari 10 tahun, selalu menjadi bahan pertanyaan, pasti ada ketidakberesan, entah itu dalam pribadi pelajar itu, atau entah sebab masalah teknis semacam permasalahan izin tinggal yang mengalami keruwetan. Tapi yang pasti, selalu dianggap "kurang" ke-Rusaifah-annya, meski tetap diakui. Paling tidak, jika tidak bisa 10 tahun, minimal 7 tahun lah. Sebelum dapat izin resmi untuk pulang sekaligus izin memulai babak hidup baru sebagai pelayan ummat.

Nah, di antara hal yang sangat aku kenang dari Abuya adalah, perhatian beliau pada setiap individu murid-muridnya. Tentu saja tidak sama cara bersikap beliau kepada pelajar senior dan junior, namun uniknya cara bersikapnya yang tidak sama itu, bukan lantas membuat perbedaan di antara kami, malah yang muncul adalah perasaan aneh, bahwa "aku adalah murid yang paling disayang Abuya", nah, pernah menemukan Guru Rabbani berkualitas seperti ini?

Seluruh detail kehidupan kami langsung beliau kontrol sendiri. Bahkan rahasia jiwa kami (bahasan ini, sudah irrasional tentunya, sulit dinalar akal, tapi memang terjadi dan kami alami sendiri secara nyata).

Ada sejuta kisah dengan Abuya yang jika dibukukan, bisa berjilid-jilid. Mulai kisah menegangkan, sampai kisah lucu yang mengundang gelak tawa (dan ini banyak sekali).

Secuil dari kisah yang kualami itu adalah, saat beliau hendak mencari sekretaris baru. Memang di antara khas beliau adalah, banyaknya "khatthat" (penulis bantu) di sekitar beliau, hal itu adalah untuk menyalin tulisan, menulis cepat ide-ide beliau, mengingat beliau sendiri adalah penulis kaliber dunia. Dan tentu saja pekerjaan penulis bantu itu bertingkat melihat kerapian tulisan penulis tadi.

Rekan-rekanku yang memiliki tulisan tangan bagus, tentu saja mendapatkan posisi sebagai sekretaris utama. Entah rahasia apa, beliau lebih suka menyukai tulisan tangan daripada ketikan komputer.

Nah, saat berlibur ziarah ke Madinah, rupanya beliau ingin mencari penulis bantu baru, pagi itu usai subuh, beliau memanggilku. Seperti biasa, selalu ada rasa takut dan gemetar luar biasa setiap dipanggil Abuya. Rasa ini muncul sebab besarnya aura wibawa beliau. Tak pernah dalam hidupku aku temukan orang yang wibawanya sebesar Abuya almarhum (sesuatu yang kini mulai tampak pada putranya, Guru Besar kami, Abuya Ahmad bin Muhammad Al-Maliky).

Mendadak beliau mengambil sesobek kertas kecil, mengambil pena, dan memberikan pena itu padaku serta mengacungkan kertas tadi yang masih beliau pegang di hadapanku.

"Tulis," ujar beliau.

Seketika telingaku serasa memanas, punggung dingin, dan dari pelipis muncul keringat, bagaimana cara nulisnya kalau gemetaran luar biasa gini, mana menulis di udara tanpa tatagan lagi.

Meski tangan bergemataran, tetap aku kuatkan hati untuk menulis di selembar kertas yang mengawang di tangan beliau itu. Beliau tentu saja membaca perubahan psikologis yang aku alami, dan segera mengajakku bercanda untuk menetralisir rasa takut itu (rasa yang selalu dialami siapapun meski dia telah berpuluh tahun hidup dengan Abuya, rasa aneh yang saat sama pula berbaur dengan cinta luar biasa pada sosok beliau).

"Tulis, Aku minta dibuatkan sate", sambil tertawa kecil, aku tentu saja heran, dan mencoba tersenyum sambil aku tuliskan kalimat aneh di kertas yang beliau pegang tadi tetap dengan gemetaran, meski rasa takut telah berkurang banyak.

Alhasil, sore harinya aku mendapat setumpuk kerjaan dari senior untuk aku salin, ya, beliau mempercayaiku sebagai salah satu penulis bantu lapis ketiga, untuk merapikan tulisan-tulisan yang berserakan.

Pelajaran besar yang aku terima adalah, kebersamaanku dengan beliau, tata cara beliau memperlakukanku, melatihku untuk tidak takut menghadapi siapapun, sebesar apapun orang itu, kamu harus tetap biasa, hanya saya yang harus kamu takuti, itu pesan tersirat beliau yang selalu kurasakan sampai kini.

Maka, jika diperhatikan, seluruh jebolan Rusaifah, selalu memiliki keberanian dan rasa percaya diri aneh yang tak dimiliki orang lain. Menghadapi tokoh-tokoh penting, seperti menghadapi teman, tidak mudah terpukau, meski tentu menghormati melihat bagaimana posisi orang itu.

Kecuali pejabat, ya, pejabat pemerintah, pesan satir Abuya, mereka yang harus mencium tangan, tertunduk tersuruk-suruk kepadamu, kamu harus terlihat besar dan wibawa di mata mereka, jangan sekalipun merendahkan diri di hadapan mereka. Jika perlu, peringatkan dan jewer kuping mereka dengan cara bijak.

Akhir catatan, tiba-tiba hari ini tersedu sedan dengan mengingat kembali sang Guru...

Sepuing Kenangan dengan Sang Guru Besar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki