Sebelumnya, ini adalah sekedar sebuah pertanyaan yang muncul dari benakku barusan semalam. Dan tentu saja dalam bab kebebasan berpikir, jadi, tidak ada salahnya bukan jika aku mempunyai sebuah pertanyaan yang muncul dari sebuah pemikiran untuk membutuhkan konfirmasi jawaban atas pertanyaan itu.
Biasa, tentang demo dan aksi. Selama ini, jika aku membaca sejarah Islam sendiri sejak era Nabi sampai jatuhnya pemerintahan dinasti Utsmani, dan setelah itu dilanjut oleh kehidupan Islam sendiri, aku pribadi tidak pernah menemukan adanya gerakan demo atau aksi dalam sejarah yang terbentang sepanjang 1400 tahun itu. Ada sesekali demo namun justru datang dari pihak oposisi yang mendapatkan label bughot secara syariat. Label yang justru mendapat legalisir untuk ditumpas dengan diperangi
Seperti kasus kejadian demo di zaman sayyidina utsman yang berujung terbunuhnya khalifah yang sah oleh pendemo yang selanjutnya dianggap pemberontak. Dan kejadian itu terbukti menimbulkan fitnah memilukan berkepanjangan dan kelam dalam dunia Islam.
Bukankah dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa fitnah itu tidur, dan Allah melaknat siapapun yang membangunkannya. Nah kalau suatu demo menimbulkan fitnah? Jangan-jangan? Hiii.. Seram.
Sebelumnya, bukannya aku pribadi menentang demo atau aksi, tidak sama sekali. Hanya mempertanyakan saja, jika sebagian demo itu mengatasnamakan islam, apakah tindakan mereka sendiri dengan seperti itu sudah islami?
Catatan juga, kok rasa-rasanya selama ini aku tidak pernah tahu ada pesantren menggalang santrinya, lalu beramai-ramai demo di jalan. "Sejuta santri menggelar aksi demo", "Kyai Pesantren A beserta seluruh santriwan dan santriwatinya turun jalan mengadakan aksi menuntut turunnya harga pangan", "Belasan pesantren bersatu untuk berdemo bersama", apakah pernah mendengar seperti ini di media-media? Sangat asing sekali.
Ini jika melihat pesantren sebagai organisasinya, tanpa melihat individu, sebab banyak kyai juga "ikutan" (atau diajak ya? Sehingga sebagai solidaritas saja, atau "Jabr Khotir" ikutan turun) itupun atas nama pribadi tanpa membawa pesantren.
Begitu pula di Mesir atau Tunis, aku melihat, lembaga pendidikan Islam terbesar di kedua negara ini, Al-Azhar dan Jami' Qurowiyyin, tidak memberi intruksi resmi kepada mahasiswa dan para pengajarnya untuk demo, meski tentu saja individualnya banyak yang ikutan demo (sama kayak kasus pesantren tadi).
Malah kalau saudi arabia, ulama'nya (entah karena jadi corong negara atau apa, tapi kok kompak, mulai yang salafi sampai sunni) mengharamkan demo sebab pasti menimbulkan fitnah, yuhditsul balbalah wal faudho (menimbulkan kekacauan). Hanya syiah yang memang dalam sejarahnya selalu ada demo (bagi yang membaca sejarah, tahu sendiri bagaimana keberadaan syiah yang sejak dulu, selalu menimbulkan fitnah dan perpecahan).
Aku hanya mencoba objektif saja dalam permasalahan ini, sebab yang menjadi titik perhatianku, adalah dibawa-bawanya nama Islam. Sekali lagi bukan apa-apa, tapi ingin bertanya legalitas ihtijaj (aksi) dan Tadhohur (demo) dalam islam. Bukankah kita ini sebagai muslim yang baik selalu ingin segala sesuatunya bergerak sesuai syariat bukan?
Jika ia, maka perlu ada buku-buku fatwa yang membahas soal ini. Karena saya juga teringat dengan sikap orang tua saya yang mempertanyakan hal yang sama, ketika ada beberapa fungsionaris partai terkenal yang berasaskan Islam, mendatangi beliau di rumah dan memintanya bergabung untuk memperjuangkan islam dan menjadikannya sebagai ideologi negara.
Kala itu orang tuaku bertanya balik, jika kalian berjalan mengatasnamakan islam, apakah tindakan kalian menurunkan wanita-wanita kalian, para akhowat berjilbab lebar itu turun di jalanan berteriak-teriak, longmarch sepanjang jalan, itu diajarkan oleh Islam? Bukankah Islam mengajarkan bahwa wanitanya harus disimpan baik-baik? Jika yang sholat saja, ibadah terkrusial dalam islam, bagi wanita seyogyanya dilakukan di dalam bilik rumahnya, apalagi ini yang demo?
Tak ada jawaban dari para fungsionaris itu dan mereka hanya bisa pulang dengan kebingungan, sebab ketika menjawab tindakan ummu Umarah dan beberapa shahabiyat yang turut terjun di medan tempur, itu terjawab karena itu masuk kategori dhoruriyyatus Syar', sementara aksi atau demo yang melibatkan akhowat tidak ada sedikitpun kategori itu.
Makanya, aku tidak pernah tahu sama sekali ada bu nyai atau santri putri, yang demo dan aksi di jalanan. Pertanyaannya, mana yang lebih islam jika begini? Atau para santri putri dan bu nyai ini dicap tidak peduli islam? Membutuhkan jawaban dan bahasan yang harus berdalil jelas.
Juga, selama saya belajar agama, tak sedikitpun aku temukan dalam nash-nash syariat, atau dalam referensi-referensi mulai dari fiqih, sampai akhlak, bab yang mengajarkan dan menganjurkan berdemo. Lalu, lantas jika bukan islam budaya ini datang dari mana? Atau akunya yang saking gobloknya sampai selama ini tidak menemukan teks itu? Bisa jadi.
Jika demo itu berasal dari orang kafir, bukankah bisa jadi kita terjebak dalam bab "man tasyabbaha bi qoumin"? Membutuhkan jawaban dan analisa lagi.
Pada akhirnya, jika memang kita sendiri belum bisa menjalankan islam secara kaffah sesuai yang digariskan dan diprotokolerkan syariat, maka tak perlulah kita memandang golongan lain yang belum bisa menjalankan islam dengan sempurna sebagai golongan yang tak islami.
Keobjektifitasannya tanpa melabelkan diri dengan yang paling syar'i adalah yang terbaik. Maka ranahnya kembali pada koridor "Ittaqullah maa istatho'tum", bertaqwalah pada Allah semampumu, dengan saling membahu antar golongan Islam tanpa membawa-bawa Islam untuk kepentingan-kepentingan golongan terlebih pribadi.
Perlu kita garis bawahi, islam adalah nama yang terlalu agung untuk dibawa-bawa dan dijadikan label (jadi, silakan ngapain aja asal jangan bawa nama Islam), namun dalam kenyataannya ia telah menjadi korban kesalahan pemeluknya sendiri hanya karena ketidak tahuan dan kesalahan melangkah.. Itu saja. Wallahu a'lam..
Biasa, tentang demo dan aksi. Selama ini, jika aku membaca sejarah Islam sendiri sejak era Nabi sampai jatuhnya pemerintahan dinasti Utsmani, dan setelah itu dilanjut oleh kehidupan Islam sendiri, aku pribadi tidak pernah menemukan adanya gerakan demo atau aksi dalam sejarah yang terbentang sepanjang 1400 tahun itu. Ada sesekali demo namun justru datang dari pihak oposisi yang mendapatkan label bughot secara syariat. Label yang justru mendapat legalisir untuk ditumpas dengan diperangi
Seperti kasus kejadian demo di zaman sayyidina utsman yang berujung terbunuhnya khalifah yang sah oleh pendemo yang selanjutnya dianggap pemberontak. Dan kejadian itu terbukti menimbulkan fitnah memilukan berkepanjangan dan kelam dalam dunia Islam.
Bukankah dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa fitnah itu tidur, dan Allah melaknat siapapun yang membangunkannya. Nah kalau suatu demo menimbulkan fitnah? Jangan-jangan? Hiii.. Seram.
Sebelumnya, bukannya aku pribadi menentang demo atau aksi, tidak sama sekali. Hanya mempertanyakan saja, jika sebagian demo itu mengatasnamakan islam, apakah tindakan mereka sendiri dengan seperti itu sudah islami?
Catatan juga, kok rasa-rasanya selama ini aku tidak pernah tahu ada pesantren menggalang santrinya, lalu beramai-ramai demo di jalan. "Sejuta santri menggelar aksi demo", "Kyai Pesantren A beserta seluruh santriwan dan santriwatinya turun jalan mengadakan aksi menuntut turunnya harga pangan", "Belasan pesantren bersatu untuk berdemo bersama", apakah pernah mendengar seperti ini di media-media? Sangat asing sekali.
Ini jika melihat pesantren sebagai organisasinya, tanpa melihat individu, sebab banyak kyai juga "ikutan" (atau diajak ya? Sehingga sebagai solidaritas saja, atau "Jabr Khotir" ikutan turun) itupun atas nama pribadi tanpa membawa pesantren.
Begitu pula di Mesir atau Tunis, aku melihat, lembaga pendidikan Islam terbesar di kedua negara ini, Al-Azhar dan Jami' Qurowiyyin, tidak memberi intruksi resmi kepada mahasiswa dan para pengajarnya untuk demo, meski tentu saja individualnya banyak yang ikutan demo (sama kayak kasus pesantren tadi).
Malah kalau saudi arabia, ulama'nya (entah karena jadi corong negara atau apa, tapi kok kompak, mulai yang salafi sampai sunni) mengharamkan demo sebab pasti menimbulkan fitnah, yuhditsul balbalah wal faudho (menimbulkan kekacauan). Hanya syiah yang memang dalam sejarahnya selalu ada demo (bagi yang membaca sejarah, tahu sendiri bagaimana keberadaan syiah yang sejak dulu, selalu menimbulkan fitnah dan perpecahan).
Aku hanya mencoba objektif saja dalam permasalahan ini, sebab yang menjadi titik perhatianku, adalah dibawa-bawanya nama Islam. Sekali lagi bukan apa-apa, tapi ingin bertanya legalitas ihtijaj (aksi) dan Tadhohur (demo) dalam islam. Bukankah kita ini sebagai muslim yang baik selalu ingin segala sesuatunya bergerak sesuai syariat bukan?
Jika ia, maka perlu ada buku-buku fatwa yang membahas soal ini. Karena saya juga teringat dengan sikap orang tua saya yang mempertanyakan hal yang sama, ketika ada beberapa fungsionaris partai terkenal yang berasaskan Islam, mendatangi beliau di rumah dan memintanya bergabung untuk memperjuangkan islam dan menjadikannya sebagai ideologi negara.
Kala itu orang tuaku bertanya balik, jika kalian berjalan mengatasnamakan islam, apakah tindakan kalian menurunkan wanita-wanita kalian, para akhowat berjilbab lebar itu turun di jalanan berteriak-teriak, longmarch sepanjang jalan, itu diajarkan oleh Islam? Bukankah Islam mengajarkan bahwa wanitanya harus disimpan baik-baik? Jika yang sholat saja, ibadah terkrusial dalam islam, bagi wanita seyogyanya dilakukan di dalam bilik rumahnya, apalagi ini yang demo?
Tak ada jawaban dari para fungsionaris itu dan mereka hanya bisa pulang dengan kebingungan, sebab ketika menjawab tindakan ummu Umarah dan beberapa shahabiyat yang turut terjun di medan tempur, itu terjawab karena itu masuk kategori dhoruriyyatus Syar', sementara aksi atau demo yang melibatkan akhowat tidak ada sedikitpun kategori itu.
Makanya, aku tidak pernah tahu sama sekali ada bu nyai atau santri putri, yang demo dan aksi di jalanan. Pertanyaannya, mana yang lebih islam jika begini? Atau para santri putri dan bu nyai ini dicap tidak peduli islam? Membutuhkan jawaban dan bahasan yang harus berdalil jelas.
Juga, selama saya belajar agama, tak sedikitpun aku temukan dalam nash-nash syariat, atau dalam referensi-referensi mulai dari fiqih, sampai akhlak, bab yang mengajarkan dan menganjurkan berdemo. Lalu, lantas jika bukan islam budaya ini datang dari mana? Atau akunya yang saking gobloknya sampai selama ini tidak menemukan teks itu? Bisa jadi.
Jika demo itu berasal dari orang kafir, bukankah bisa jadi kita terjebak dalam bab "man tasyabbaha bi qoumin"? Membutuhkan jawaban dan analisa lagi.
Pada akhirnya, jika memang kita sendiri belum bisa menjalankan islam secara kaffah sesuai yang digariskan dan diprotokolerkan syariat, maka tak perlulah kita memandang golongan lain yang belum bisa menjalankan islam dengan sempurna sebagai golongan yang tak islami.
Keobjektifitasannya tanpa melabelkan diri dengan yang paling syar'i adalah yang terbaik. Maka ranahnya kembali pada koridor "Ittaqullah maa istatho'tum", bertaqwalah pada Allah semampumu, dengan saling membahu antar golongan Islam tanpa membawa-bawa Islam untuk kepentingan-kepentingan golongan terlebih pribadi.
Perlu kita garis bawahi, islam adalah nama yang terlalu agung untuk dibawa-bawa dan dijadikan label (jadi, silakan ngapain aja asal jangan bawa nama Islam), namun dalam kenyataannya ia telah menjadi korban kesalahan pemeluknya sendiri hanya karena ketidak tahuan dan kesalahan melangkah.. Itu saja. Wallahu a'lam..