Pengalamanku mengajar, adalah berbarengan dengan saat aku mulai belajar (ilmu agama), yaitu kala usiaku menginjak 15 tahun.
Lhoh, kok bisa? Bukannya mesti belajar dulu, menjadi murid, setelah itu secara berjenjang dan kala jadi senior, baru jadi guru? Kok ini baru belajar langsung mengajar?
Iya, seharusnya gitu. Nah, aku ceritakan, bagaimana awalnya aku sudah mengajar di saat baru saja belajar (catatan sebelumnya, meski di rumah ada pesantren, sejak kecil aku tidak belajar di pesantren sendiri, aku lebih suka sekolah umum dari pada belajar agama).
Pasti teman-teman masih ingat catatan-catatanku sebelumnya, bahwa aku ini tipe pelajar yang sangat menyedihkan. Tidak terlalu suka belajar, malas mengulang atau membaca lagi pelajaran yang sudah diajarkan, suka molor mengerjakan PR, bahkan baru aku garap dengan gelagapan satu jam menjelang bel masuk sekolah, baru mau belajar pas waktu ujian saja.
Nah kebiasaan ini berlanjut setelah aku memutuskan untuk mulai belajar agama di pesantren sendiri. Memang sih, soal pengalaman mengajar, sedikit sudah tahu karena ketika masa sekolah, sekali dua kali aku disuruh mengajar baca alif ba' ta' anak-anak usia dini. Tapi ya tidak cukup modal lah untuk bisa langsung ngajar di pesantren. Walau pesantren orang tua. Bisa kacau tatanan ntar.
Tapi semua itu sepertinya dijalankan Allah begitu saja. Ketika memutuskan belajar agama, aku diberi kesemangatan di luar kebiasaan oleh-Nya, setiap pagi privat ilmu-ilmu gramatika dengan Babaku, dan jam-jam madrasah pesantren, aku ikuti dengan antusias, apapun aku hafalkan, termasuk mulai menghafal al-Qur'an, mumpung semangat boi, kata hatiku kala itu.
Hal ini terjadi pada bulan-bulan awal aku belajar. Nah, pada suatu hari, aku tak sengaja melihat dua santri baru sedang diskusi pelajarannya tadi pagi, aku ikut nimbrung iseng mendengarkan dua anak ini saling tarik ulur soal nahwu, saat itu bab kalam.
Pertengahan diskusi, tampak keduanya mengalami kebingungan menjelaskan. Saat itu aku sedang bergulang-guling ke sana kemari tiduran di samping mereka. Nah salah satu dari mereka tanya ke aku, "Gus, sampean faham maksudnya ini nggak?"
"Yang mana?", tanyaku, "Yang ini," jawab mereka, akhirnya, iseng saja aku menjelaskan dengan mencorat-coret keterangan di pintu lemari. Eh subhanallah mereka faham dengan keteranganku.
Nah, ketika itu juga kayaknya setan GR membisiki telingaku, wah, ternyata aku bisa ngajar yah, hohoho.
Akhirnya, aku mencoba PDKT ke majlis anak-anak putri yang mengadakan pengajian tiap malam kamis dan jumat. Kubilang pada ustadznya, kalau dia lagi berhalangan, Mamas Awy' siap mengajar ade'-ade' ni, hahaha :D
Usia puberku bermain juga kala itu. Tapi sayang, aku tidak mendapat kesempatan mengajar ade'-ade' :D
Hingga datang satu anak baru, dua minggu saja dari ujicoba suksesku mengajar. Nah, pamannya ini, bilang padaku, untuk mengajari keponakannya, secara khusus. Dan aku sanggupi.
Jadi setiap malam, aku memprivat dia. Dengan apa? Tentu saja dengan ilmu yang kupelajari dari Babaku pas pagi tadi. Pikirku, iseng mengajar sekalian belajar, kalau nggak gini caranya, aku ini tipe pelajar malas.Jadi, jarak ilmu antara murid dan gurunya hanya 16 jam saja, :D.
Cuma anak baru ini nggak tahu kalau aku juga masih baru belajar kayak dia, tahunya pokoknya Gus Awy ini sudah mengajar, itu saja.
Dan perkembanganku, diam-diam dipantau Babaku, akhirnya pada tahun berikutnya, aku dipercaya untuk masuk kelas dan mengajar angkatan baru. Meski aku ngajarnya juga masih suka gaya, yaitu memilih tempat yang dekat dengan jalan kampung, sehingga eksenku bisa dilihat mbak-mbak yang lewat :D biar cemangadh ! Nggak Lillah sama sekali, :-S
@ @ @
Jika kesempatan yang bertiup kencang laksana angin itu sudah datang, maka manfaatkan. Sebab ada masanya angin itu berhenti dan terdiam.
Pelajaran ini yang aku ambil dari kejadian pribadi yang aku alami. Bahwa kita bisa selama kita mau.
Oke, mungkin bisa jadi kita masih amburadul secara metodologi, amburadul secara niat, nggak ada ikhlas-ikhlasnya sama sekali, tetapi semua itu akan terbenahi dengan sendirinya melalui proses penggapaian kesempurnaan batin.Tentu saja soal ini lingkungan yang berperan.
Sebab banyak juga, semakin tambah usia, tetapi semakin parah kondisi rohaniahnya, meski mungkin kondisi finansialnya semakin membaik.
Dalam hal ini, adalah prosesku juga menjadi pengajar (lebih tepat, membantu mengajar). Setidaknya juga, dari sisi lain kita bisa mengambil pelajaran penting, bahwa kita bisa mempelajari psikologi diri sendiri, dan juga psikologi orang, melalui mengajar.
Karena pemahaman dasar yang baik soal ini, akan memberi kita kesuksesan dalam proses mengajar. Sebab mengajar pada dasarnya tidak hanya proses mentransfer ilmu, tetapi juga mentransfer emosional dan perasaan kita pada yang kita ajar. Nah, dua hal ini, harus dibarengi dengan rasa takwa, dengan kepekaan jika memang kita ingin target mengajar kita mencapai sasaran.
Ini adalah modal dasar yang dibutuhkan seorang Murobbi, tidak sekedar murobbi dalam istilah saja. Tetapi murobbi dalam makna sebenarnya sebenarnya, yang mengenalkan kita pada Allah, sekaligus dia sendiri mengenal Allah.
Akan sangat panjang memang jika kita berbicara pendidikan yang dibalut oleh ilmu tazkiyatun nafs.
Pada akhirnya, pesan sederhana dariku untuk semua sahabat yang mendedikasikan waktunya untuk mengajar, mengajar ilmu apapun itu, bahwa jangan jadikan gaji sebagai target. Sedikit saja kamu memikirkan gaji dari mengajar, maka aku bisa memastikan, bahwa kamu telah gagal dan ilmu yang kamu sampaikan pada muridmu, selamanya tak akan sampai sasaran. Walau itu ilmu umum.
Akhir catatan, mari kita benahi niat saat mengajar, sebab ini adalah profesi asli para Nabi, profesi teragung di muka bumi.
.......