Diaryku (94) : UMAR BAKRI BERSEPATU BOLA :D

Nah, biasanya, setelah tiga harian kami berkenal-kenalan, melakukan pedekate pada masyarakat, pelan namun pasti kami sudah bisa mengambil hati mereka.

Acara kemasyarakatan apapun kami masuki. Arisan, tahlilan, kerja bakti mingguan, resepsi pernikahan, sunatan (halah :D). Ya pokoknya ada masyarakat kumpul-kumpul, kami datang, tebar senyum sana-sini.

Apa saja kami lakukan, sampai ngobatin orang sakit via suwuk gratis :D

pernah ada kisah, kebetulan pelaku peristiwanya adalah posko tempatku. Bersama ketua posko, kami bersilaturrahim, beranjang sana. Omong punya omong ternyata sang istri tuan rumah sakit.

Dengan gaya ustadz berdaya doa manjur (apa dukun ya :D), ketuaku menawari tuan rumah untuk baca-bacain si ibu yang sakit. Ya fatihah, plus tiup-tiupan sedikit bau mulut ke air. Dengan suka hati tuan rumah mempersilahkan.

Keesokan paginya, sang ketua bertanya pada si tuan rumah yang kebetulan paginya berjumpa, dia sedang mengayuh becaknya mau mencari nafkah.

"Pripun Pak kabare ibune lare-lare? Sampun sekeco ta?" (bagaimana pak kabar istrinya? Sudah baikan?) tanya temanku basa-basi.

"Aduh, ngapunten ustadz, wau dalu langsung mlebet puskesmas, kadose tambah parah, niki kulo ajeng mriko" (aduh, maaf ya tadz, semalam malah langsung masuk rumah sakit, sepertinya tambah parah, ini saya mau ke sana). Jawab si tuan rumah tadi sambil bergegas.

Temanku hanya bisa tersenyum kecut, dan aku tak sanggup menahan tawaku, "akhi, kalau belum mustajab doanya, apalagi belum sikat gigi, jangan coba-coba ndukun, nggak almarhum sudah untung itu" :D

Alhasil, pelan tapi pasti kami sukses mengambil hati masyarakat. Anak-anak mereka adalah target kami. Kami ajari mereka baca al-qur'an, permainan-permainan islami, lagu-lagu islami (jadi aku pun sempat ngajar menari juga, sambil nyanyiin lagi Rukun Islam yang lima :D).

Tentu saja para orang tua itu suka dan gembira anak-anaknya ada yang mengajari mengaji. Belum ustadznya gaul lagi. Jadi setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, anak-anak itu hampir pasti datang ke pos kami, untuk mencium tangan. Kami ajari mereka bertata krama. Terkadang mengajak jalan-jalan pagi berkeliling desa berkunjung antar posko.

Ada orang tua yang terharu, sebab dia kini setiap pagi tangannya dicium anak-anaknya, hal yang belum pernah dialami olehnya.

Kami pun masuk juga ke para remaja, baik putra ataupun putri. Membenahi musholla, menghidupkannya. Yang asalnya sepi, kini full adzan 5 waktu. Sekaligus mengkader muaddzin-muaddzin agar saat kami tinggal, mushollah tetap hidup.

Memberi kuliah-kuliah sederhana tiap usai maghrib, wejangan-wejangan ringan yang disukai para bapak dan para ibu. Serta tak lupa, selalu silaturrahim ke rumah-rumah mereka.

Rintangan pasti ada, tapi kami selalu sukses melewatinya sebab pancingan-pancingan hal-hal yang jadi perselisihan, tak pernah kami tanggapi. Kami hanya ingin perbaikan.

Otomatis, selama kami di tempat PKL, seluruh musholla, masjid, dan tempat-tempat belajar di kawasan itu, menjadi hidup. Desa terasa sekali kehidupan rohaninya.

Komentar seorang ibu, "kami terbiasa melihat mahasiswa ber-KKN di sini, membangun sarana prasarana, memperbaiki jalan, menanam pohon-pohonan. Tapi terus terang mas, kami belum pernah berjumpa KKN yang seperti kalian adakan, membangun jiwa kami yang gersang", aku hanya tersenyum pada ibu itu.

Soal rezki? Jangan ditanya lagi, lancarnya laa hawla wa laa quwwata. Setiap hari, ada saja masyarakat memberi penganan seadanya, sampai yang mewah pada kami, mengantar ke pos, tanpa kami pinta.

Aku sendiri, diterima di pos setelah tanpa sengaja waktu memberi kuliah tujuh menit, membukanya dengan bacaan sholawat yang sangat familiar di daerah tersebut. Tentu saja setelah itu respon positif yang kami terima.

Untuk membuat suasana makin bergairah, kami juga mengadakan festival perlombaan anak-anak antar posko, dengan berbagai perlombaan. Mengadakan kegiatan pengobatan gratis (kalau ini, manggil dokter beneran :D).

Jadi ingat, saat aku PKL di Kepanjen, Poskoku adalah yang paling VIP. Temen-temen posko yang lain, jika ingin maem enak, pasti datang ke poskoku. Belum fasilitas kendaraan yang lengkap, mulai dari sepeda onta, sampai mobil jeep landcruiser, tentu saja hasil lobian kami pada tetangga-tetangga rumah.

Oh ya, saat aku mendapat jam harus mengajar di SD, aku sempat kebingungan. Masalahnya tidak punya sepatu (kepala sekolah mengharuskan kami bersepatu). Aku pun bertanya pada tuan rumahku yang kebetulan desersian TNI.

"Pak Har, punya sepatu tidak pak? Buat ngajar besok".

Pak har yang lagi asyik lihat teve, menjawab sekenanya, "itu de', ada disudut", dan saat kulihat, ternyata sepatu bot tentara, walah :D

keesokan harinya aku berangkat mengajar sambil bersepatu bola (pinjem-pinjem dapatnya itu sih :D) dan ke sekolah sambil naik sepeda onta. Itu saja masih diledekin anak-anak dengan teriakan-teriakan menirukan lagu jadul Iwan Fals, "Omar baaaakriiiiiii, Omar baaakrii" :D


(to be continued)..