Diaryku (95) : TANGISAN PERPISAHAN

Yang selalu menyentuh hati (menurut cerita teman-teman yang senior juga) adalah saat-saat menjelang berakhirnya kegiatan PKL (Rihlah dakwah kubro). Tentu saja ketika kami telah dengan sepenuhnya sukses mengambil hati masyarakat.

Hampir seluruhnya dari mereka mencintai kami. Sikap kami yang penuh simpatik sejak awal, tidak aneh-aneh, andap asor, membuat penduduk desa menyayangi kami. Apapun diberikan. Bahkan tak sedikit yang ingin menjadikan kami menantu (nah kan?).

Dan kelompok masyarakat yang sangat terasa berat kami tinggal, adalah anak-anak dan para ibu (tentu juga remaja putri). Perhatian kami, sikap care kami, bagi mereka adalah hal baru. Seminggu menjelang kepulangan kami saja mereka sudah terlihat sedih.

Apalagi saat hari-hari terakhir, hawa perpisahan terasa pekat, dan itu tak terkecuali pada kami ! Aku sendiri tiba-tiba merasa teramat berat meninggalkan mereka. Waktu kebersamaan 3 minggu, yang terus menerus tak putus, membuat jiwa kami seolah menyatu.

Sebenarnya, saat PKL di kepanjen itu, kami hanya menjadwalkan 25 hari saja. Tetapi ternyata masyarakat dengan sangat memohon sekali meminta kami untuk menambah hari PKL, akhirnya kami undur kepulangan kami sampai 3 hari. Demi menuruti keinginan masyarakat.

Menjelang bubaran PKL, hampir semua posko mengadakan acara seremoni perpisahan. Sebelum malam terakhir perpisahan umum besar-besaran. Perut kami serasa tak mampu lagi menampung jamuan yang disuguhkan dari pos ke pos.

Aku sendiri, hari-hari terakhirku selalu disertai oleh semua adik didikku. Pagi-pagi buta usai subuh, mereka telah berkumpul di depan rumah, memintaku secara khusus memberi mereka kisah-kisah nabi, kisah pejuang. Meskipun tertawa, tetapi sangat terasa sekali jika mereka bersedih. Tawa yang hambar.

Usai sekolah, mereka segera mandi dan bergegas datang lagi ke musholla, yang dicari tentu adalah aku, pengajar harian mereka (kebetulan aku mendapat tugas bagian anak-anak)

Waktu sehari sebelum kepulangan, secara bersamaan, anak-anak itu mendatangiku dan mengajakku jalan-jalan jauh ke bendungan di batas desa. Kata mereka, jalan-jalan terakhir ustadz. Itupun sudah kulihat beberapa di antara mereka menghapus air mata.

Tentu aku turuti keinginan mereka dengan mengorbankan jadwalku di posko lain untuk menghadiri seremoni perpisahan.

Dan saat di bendungan itu, aku mengalami momen tak terlupakan. Sembari duduk-duduk di rerumputan, memandangi gunung, satu persatu mereka menggelayuti tubuhku, duduk di pangkuanku, merangkulku dari belakang, menempelkan pipi mereka ke pipiku, sebelum beberapa di antara anak-anak itu (entah atas inisiatif siapa) memberiku berbagai macam bingkisan sederhana.

Momen itu aku lewati dengan diam dan perasaan mengharu baru, walau diam-diam ternyata mataku berkaca-kaca. Tak satupun dari puluhan anak-anak yang bergantian merangkulku itu berceloteh riang seperti biasa. Aku ajak bertepuk-tepuk menyanyikan lagu pun tak ada satupun yang menjawab, kecuali mata-mata jernih yang terlihat sangat sayu dan kuyu sekali.

Menjelang maghrib, aku ajak mereka pulang untuk bersiap sholat, dan kuajari mengaji sekali lagi, ngaji terakhir.

Malamnya, Musholla ramai, ternyata anak-anak itu sepakat untuk tidur di musholla, menemaniku. Paginya, usai subuh, saat matahari mulai meninggi, aku melihat beberapa anak mulai terisak. Itu hari terakhirku.

Dan saat bus pesantren datang menjemput ke poskoku, saat aku mengangkat tas-tasku, saat itu pula seluruh anak-anak itu berlarian ke arahku, menubrukku sembari menangis histeris, memelukku erat-erat, melarang aku pergi, dan memintaku dengan sangat untuk tidak meninggalkan mereka.

Dan aku? Tangisku pun tidak terbendung, aku ciumi mereka satu persatu dengan air mata bercucuran. Para ibu, remaja, yang menyaksikan adegan itupun turut sesenggukan menangis haru, berusaha keras menenangkan anak-anak dan adik-adik mereka untuk merelakan kepergian kami, membujuk mereka mati-matian. Sementara para bapak hanya terdiam terpaku. Momen indah penuh kasih sayang yang tidak pernah aku lupakan. Cengeng memang, tetapi sangat lega sekali di perasaan.

Ternyata hal itu tak cuma di poskoku. Hampir semua posko mengalami hal yang sama. Hujan air mata terjadi di mana-mana. Dan pelan namun pasti, bus kami berjalan meninggalkan desa dengan diiringi lambaian tangan sepanjang jalan. Yang punya motor, sepeda, membuntuti kami dari belakang sampai batas desa.

Sangat kontras sekali dengan kedatangan kami yang begitu dicurigai, bahkan dipingpong, namun saat pulang ditangisi. Adapun bus kami? Penuh dengan aneka macam oleh-oleh yang tak bisa kami gambarkan.

Benar-benar pengalaman kehidupan yang sangat indah dan mendebarkan :)