Diaryku (92) : AWAS KEBULET JILBAB :D

Di antara pesantren di Indonesia tempatku dulu menimba ilmu, yang belum banyak aku ceritakan dalam catatanku, adalah Ma'had Nurul Haromain (NH), Pujon Batu Malang.

Sebelum aku menceritakan pengalaman-pengalaman unikku di Ma'had ini, aku gambarkan sedikit bagaimana Ma'had tempat pengkaderan para da'i-da'i tangguh ini.

Terus terang, Ma'had ini benar-benar istimewa. Tak berlebihan jika aku katakan, Ma'had jenis NH, hanya ada satu di Indonesia. Ma'had yang benar-benar terorganisir dengan sangat rapi dan sangat sistematis dengan kualitas santri di atas rata-rata. Dan boleh dikatakan, ia adalah universitasnya pesantren di Indonesia.

Masuk Ma'had ini, diproyeksikan untuk dua hal. Untuk langsung menjadi da'i, ustadz, Kyai. Atau sebagai perantara untuk melanjutkan belajar ke luar negeri (dengan beberapa tujuan tempat belajar, di antaranya adalah, Ma'had Salaf paling elit di dunia, Rushaifah, tempatku belajar gini).

Jadi, yang masuk Ma'had ini, adalah santri yang telah mempunyai dasar-dasar ilmu agama dengan sangat baik sebelumnya. Ma'had ini tentu saja tak menerima santri yang belum bisa baca kitab arab tak berharakat. Dan ada keharusan harus mampu bicara bahasa arab.

Makanya, tak banyak yang bisa masuk ma'had ini. Apalagi santrinya dibatasi. 40 saja.

Jadi, pengeliminasian calon-calon santri yang mendaftar, adalah hal yang biasa, meski terlihat agak tega. Tentu saja karena tidak memenuhi syarat untuk jadi santri Pujon.

Waktu aku menjabat Qism Tarbiyah (pendidikan), yang juga menangani penerimaan santri baru, terhitung 4 kali aku terpaksa mengalihpondokkan calon santri ke pesantren lain sebab memang ilmu gramatika-nya tidak jalan.

Tetapi yang menjadi ciri khas dan ekselensi pesantren ini, adalah dakwahnya. Setiap hari kami turun mengajar di masyarakat. 3 hari full di desa-desa yang menjadi target dakwah kami, dan 4 hari yang lain kami ada di ma'had tetapi sorenya mengajar di madrasah-madrasah yang berafiliasi ke ma'had.

Kecil pesantrennya, sedikit santrinya, tapi mengendalikan lebih dari 7000 massa. Sebab otomatis, tiap santri punya umat sendiri-sendiri. Makanya, oleh gerakan kristenisasi dan misiniorisme, Ma'had ini adalah masuk daftar teratas sebagai penghalang mereka.

Dakwahnya tidak sekedar mengajar begitu saja, tetapi kami dituntut interaktif, care, dan seterusnya. Jadi jika pas hari dakwah, maka di samping mengajar pada jam-jam ngaji, kami juga biasa berbaur dengan kegiatan masyarakat tempat kami dakwah.

Aku sendiri saat di Pujon itu, kebetulan mendapat wilayah dakwah di desa tempat ma'had berada. Jadi ya habis ngajar, tidak menginap di rumah penduduk situ, namun balik ke pondok (teman-teman yang lain menginap di lahan dakwah masing-masing).

Yang kuajar secara istiqomah dulu, 3 ibu-ibu, 7 anak-anak :-D. Habis mengajar baca qur'an, cerita-cerita dikit, ngobrol-ngobrol, terus maem deh :-D

pada tahun berikutnya, aku mendapat kepercayaan untuk belajar dakwah ke tempat lain. Posisiku dirubah, tetapi kali ini seram, aku mendapat tugas jauh dari ma'had. Langsung ke Malang kota, tepatnya di Pesma Putri Al-Qoyyimah, nah kan? Hehehe..

Jangan disamain deh, bagaimana bingungnya. Yang asalnya mengajar adik-adik ingusan, bau kecut minta ampun, dekil, sekarang ngajar-ngajar ukhti-ukhti mahasiswi yang heuheuheu.. Tahu sendiri, ujian hati yang njomplang.

Sampai kadang-kadang, saat hatiku bergolak tidak karuan, aku memilih mangkir ngajar. Bener sih tetep berangkat ke Malang, tapi aku tidak ke Pesma, namun kabur ke Gramedia (sebab kalau ketahuan bolos dakwah, konsekwensi dengan pihak ma'had ada perhitungan sendiri).

Lumayan, mesti dua hari semalam di Malang. Jadinya lontang-lantung kalau pas nggak ngajar gitu. Akhowatnya udah aku ajak kompromi dulu biar ulahku mangkir ngajar nggak sampai ketahuan pusat :-D

Tetapi yang seru adalah tiap akhir tahun. Kami mempunyai kegiatan semacam KKN/PKL. Jadi kami serentak berdakwah di tempat yang benar-benar baru. Dengan berbagai macam dinamika. Akan aku ceritakan besok bagaimana kami datang diusir, tapi pulang ditangisi.

Di pesantren ini, semua jenis dakwah kami pelajari dan kami praktekkan :
- Dakwah bil lisan (mengajak, mengajar)
- Dakwah bil Hal (keadaan diri)
- Dakwah bil Qolam (tulisan, pena)

Untuk jenis dakwah yang pertama dan kedua, saling berhubung. Bagaimana kami dilatih wajib bangun malam untuk tahajjud pada jam setengah 3 malam di tengah dinginnya hawa pujon yang luar biasa. Itu tak cuma di pondok, di lahan dakwah pun begitu.

Tentu saja teman-temanku punya cerita unik sendiri yang seru-seru. Semakin lama di Pujon, semakin banyak kisah. Tak ada pesantren seperti Pujon.

Aku pribadi saat di Ma'had ini kebetulan banyak aktif di dakwah nomer tiga, kayaknya udah jadi jalan deh. Setahun full eksis di buletin assuhuf dan majalah al-mu'tashim, sebagai redaksi. Dakwah paling santai secara fisik tapi paling berat secara pikiran, sebab tulisan-tulisan kami yang berfungsi melakukan propaganda mempengaruhi masyarakat dan bekal penting teman-teman saat turun dakwah. Khususnya buat khutbah.

Jadi buletin yang kutulis, harus multifungsi sekaligus. Tidak sekedar nasehat-nasehat.

Tetapi, yang begitu tertanam kuat dalam benak kami, adalah konsep dakwah Abi Ihya' (panggilan kami untuk Ustadz kami). Beliau menekankan, bahwa syarat dakwah adalah harus ada 2 "in".

Kemudian hari, konsep tersebut familiar di kalangan kami dengan sebutan, (2 in 1), dua konsep dalam satu dakwah.

(in) dalam kata tersebut adalah :
- In uridu illal islah (tak ada yang kami inginkan, kecuali perbaikan, reformasi)
- In ajriya illa Alallah (gaji kami, pahala kami, apa kata Allah, tak mengharap apapun selain itu).

Dengan dua konsep ini, kami terdidik memiliki kekuatan hati dan keberanian luar biasa. Mencurahkan semua pikiran, tenaga, dan jiwa hanya untuk dakwah.

Meski tentu saja halangan-halangan besar menghadang kami. Dan kerap kali teman-teman kami tersandung masalah cewek (ustadznya perjaka semua sih :p).

Jadi ingat, saat baru awal masuk Pujon, sehelai surat aku terima dari Pamanku. Isinya sederhana tapi menusuk sekaligus menendang, "Awas Kebulet Jilbab" :-D