Di antara hal yang paling menyebalkan, yang kerap kualami waktu masih belajar di rumah sendiri, sama di Pujon Malang, adalah sandal yang sering hilang.
Nggak hilang sih, cuma pindah tempat, atau dipake temen tapi yang memakai ini nggak bilang-bilang dulu, nah. Akhirnya, jadi penyakit menular, kita ikut-ikutan "terpaksa" memakai sandalnya teman yang lain, atau jika tak sampai hati, ya terpaksa deh nyeker, nggak pakai sendal.
Sebenarnya sih, "penyakit" yang terkenal dengan istilah "Ghosob" ini adalah penyakit yang sangat jamak sekali di dunia pesantren.
Yang membuat penyakit ini sulit dibasmi ya justru kaidah yang dibuat-buat temen-temen sendiri. "Ulima Ridho-uhu", nggak apa, pasti ridho, kan teman sendiri. Heu, iya kalau ridho, kalau nggak?
Sampai aku dulu, harus pakai marah-marah segala agar sandalku tak dipakai orang. Padahal udah kuberi gambar casper, sebagai tanda, tapi ya masih juga raib --"
@ @ @
Tapi, ada satu pesantren yang membuatku terpukau. Ini saat aku belajar di Purworejo. Ajaib sekali, santri berjumlah hampir 500, tapi tak ada kasus peng-gasap-an sandal ! Jadi, meski punya sandal jepit sampai bolong tumitnya, dijamin deh tidak akan hilang.
Kontras sekali dengan Pujon sama Parengan, santrinya tak sampai 50-an, tapi sandal yang asalnya ada di depan asrama, tahu-tahu sudah hijrah ke dapur --"
@ @ @
Suatu hari, Kyaiku di Purworejo, Ustadz Thoyfur, mengajakku sholat berdua berjamaah.
Sebagai murid yang ingin menghormati Guru, tentu aku mencari sajadah untuk beliau, dan aku secara acak mengambil sajadah entah siapa yang tersampir di pagar Musholla.
Segera aku gelar di hadapan ustadz. Tapi segera beliau menegur, "Sajadah-e sopo iki kang?"
"Sajadahnya teman-teman, ustadz" jawabku.
"Jangan, kembalikan sana, ambil sajadahku sendiri", kata beliau lagi.
Aku tertegun heran dan masih menjawab, "Lah Ustadz, ini kan sajadah murid panjenengan sendiri, anak-anak panjenengan, pasti lah dia ridho, tak mungkin tidak".
Ustadzku tetap menggeleng, "Jangan, ghosob kui kang, dosa". Akhirnya sajadah aku singkirkan dengan perasaan takjub luar biasa.
Rupanya ini salah satu rahasia, kenapa di pesantren ini tak ada satupun kasus ghasab-ghasab-pan sandal. Walau aku dengar, saat pertama kali penerapan pelarangan ghasab, sampai diperbolehkan menonjok muka siapapun yang berani pakai sandal temannya tanpa izin. Tapi yang pasti, tak ada ghasab di sini, tarbiyah yang bagus.
@ @ @
Ghosob, atau mengambil hak orang lain tanpa ada izin. Hampir sama dengan mencuri, hanya saja jika mencuri, barang yang diambil itu tidak kembali.
Tentu saja pada dasarnya menurut hukum fiqih, perbuatan ini diharamkan dan berkonsekwensi dosa.
Sifat ini sesekali pasti pernah muncul dalam diri kita, meski yang kita kangkangi haknya itu adalah kepunyaan adik kita sendiri yang masih kecil, lugu, ingusan, dan mudah dibohongi.
Sifat buruk yang muncul dari rasa tamak, tidak bersyukur, tidak ada dzauq (kepekaan) dan tidak adanya sikap wara' (sikap tidak ingin dengan benda kepunyaan orang lain).
Sikap terakhir inilah yang sepertinya sangat kurang dalam diri kita. Coba sejenak kita renungkan, mudah sekali kan kita kepengen dengan benda kepunyaan orang? Atau ingin punya yang sama? Paling tidak, melirik lah.
Ada teman ganti hape bagus, kita latah ingin ikutan ganti, padahal hape sendiri masih laik pakai. Atau, sama-sama maem, di satu restoran, satu meja, tapi masih sempat-sempatnya kita melirik teman kita, kali aja dia nggak habis lauknya, kan bisa aku minta. Haduh.
Dan lain sebagainya dari contoh ketiadaan sikap wara'.
Lantas, bagaimana menumbuhkan sifat ini? Dengan dua hal :
1. Bersyukur terhadap pemberian Allah pada kita.
2. Menerima apa adanya pemberian itu dengan hati legawa.
Jika dua sikap ini ada di hati kita secara dominan, maka tak akan ada sedikitpun lintasan di hati untuk punya keinginan akan benda orang lain, atau malah mengambilnya tanpa hak.
Keberanian kita mengambil kepunyaan teman tanpa izin (meskipun dia rela-rela saja) adalah karena kurangnya rasa ini, dan tentu saja, kurangnya rasa taqwa. Nah lho, tambah merembet-rembet.
Akhir catatan, bisa jadi, korupsi yang menjadi budaya dalam (pejabat) bangsa kita, adalah karena tidak adanya sikap wara' sama sekali dalam bangsa kita. Tidak adanya rasa syukur dan qona'ah. Selalu saja kurang. Dan hilangnya taqwa. Wallahu a'lam.
Pada akhirnya, yang terbaik adalah, memulainya dari diri kita sendiri. Untuk tidak mengambil yang bukan punya hak kita, meski sepotong donat kepunyaan adik kita yang sedang tertidur :-D
Nggak hilang sih, cuma pindah tempat, atau dipake temen tapi yang memakai ini nggak bilang-bilang dulu, nah. Akhirnya, jadi penyakit menular, kita ikut-ikutan "terpaksa" memakai sandalnya teman yang lain, atau jika tak sampai hati, ya terpaksa deh nyeker, nggak pakai sendal.
Sebenarnya sih, "penyakit" yang terkenal dengan istilah "Ghosob" ini adalah penyakit yang sangat jamak sekali di dunia pesantren.
Yang membuat penyakit ini sulit dibasmi ya justru kaidah yang dibuat-buat temen-temen sendiri. "Ulima Ridho-uhu", nggak apa, pasti ridho, kan teman sendiri. Heu, iya kalau ridho, kalau nggak?
Sampai aku dulu, harus pakai marah-marah segala agar sandalku tak dipakai orang. Padahal udah kuberi gambar casper, sebagai tanda, tapi ya masih juga raib --"
@ @ @
Tapi, ada satu pesantren yang membuatku terpukau. Ini saat aku belajar di Purworejo. Ajaib sekali, santri berjumlah hampir 500, tapi tak ada kasus peng-gasap-an sandal ! Jadi, meski punya sandal jepit sampai bolong tumitnya, dijamin deh tidak akan hilang.
Kontras sekali dengan Pujon sama Parengan, santrinya tak sampai 50-an, tapi sandal yang asalnya ada di depan asrama, tahu-tahu sudah hijrah ke dapur --"
@ @ @
Suatu hari, Kyaiku di Purworejo, Ustadz Thoyfur, mengajakku sholat berdua berjamaah.
Sebagai murid yang ingin menghormati Guru, tentu aku mencari sajadah untuk beliau, dan aku secara acak mengambil sajadah entah siapa yang tersampir di pagar Musholla.
Segera aku gelar di hadapan ustadz. Tapi segera beliau menegur, "Sajadah-e sopo iki kang?"
"Sajadahnya teman-teman, ustadz" jawabku.
"Jangan, kembalikan sana, ambil sajadahku sendiri", kata beliau lagi.
Aku tertegun heran dan masih menjawab, "Lah Ustadz, ini kan sajadah murid panjenengan sendiri, anak-anak panjenengan, pasti lah dia ridho, tak mungkin tidak".
Ustadzku tetap menggeleng, "Jangan, ghosob kui kang, dosa". Akhirnya sajadah aku singkirkan dengan perasaan takjub luar biasa.
Rupanya ini salah satu rahasia, kenapa di pesantren ini tak ada satupun kasus ghasab-ghasab-pan sandal. Walau aku dengar, saat pertama kali penerapan pelarangan ghasab, sampai diperbolehkan menonjok muka siapapun yang berani pakai sandal temannya tanpa izin. Tapi yang pasti, tak ada ghasab di sini, tarbiyah yang bagus.
@ @ @
Ghosob, atau mengambil hak orang lain tanpa ada izin. Hampir sama dengan mencuri, hanya saja jika mencuri, barang yang diambil itu tidak kembali.
Tentu saja pada dasarnya menurut hukum fiqih, perbuatan ini diharamkan dan berkonsekwensi dosa.
Sifat ini sesekali pasti pernah muncul dalam diri kita, meski yang kita kangkangi haknya itu adalah kepunyaan adik kita sendiri yang masih kecil, lugu, ingusan, dan mudah dibohongi.
Sifat buruk yang muncul dari rasa tamak, tidak bersyukur, tidak ada dzauq (kepekaan) dan tidak adanya sikap wara' (sikap tidak ingin dengan benda kepunyaan orang lain).
Sikap terakhir inilah yang sepertinya sangat kurang dalam diri kita. Coba sejenak kita renungkan, mudah sekali kan kita kepengen dengan benda kepunyaan orang? Atau ingin punya yang sama? Paling tidak, melirik lah.
Ada teman ganti hape bagus, kita latah ingin ikutan ganti, padahal hape sendiri masih laik pakai. Atau, sama-sama maem, di satu restoran, satu meja, tapi masih sempat-sempatnya kita melirik teman kita, kali aja dia nggak habis lauknya, kan bisa aku minta. Haduh.
Dan lain sebagainya dari contoh ketiadaan sikap wara'.
Lantas, bagaimana menumbuhkan sifat ini? Dengan dua hal :
1. Bersyukur terhadap pemberian Allah pada kita.
2. Menerima apa adanya pemberian itu dengan hati legawa.
Jika dua sikap ini ada di hati kita secara dominan, maka tak akan ada sedikitpun lintasan di hati untuk punya keinginan akan benda orang lain, atau malah mengambilnya tanpa hak.
Keberanian kita mengambil kepunyaan teman tanpa izin (meskipun dia rela-rela saja) adalah karena kurangnya rasa ini, dan tentu saja, kurangnya rasa taqwa. Nah lho, tambah merembet-rembet.
Akhir catatan, bisa jadi, korupsi yang menjadi budaya dalam (pejabat) bangsa kita, adalah karena tidak adanya sikap wara' sama sekali dalam bangsa kita. Tidak adanya rasa syukur dan qona'ah. Selalu saja kurang. Dan hilangnya taqwa. Wallahu a'lam.
Pada akhirnya, yang terbaik adalah, memulainya dari diri kita sendiri. Untuk tidak mengambil yang bukan punya hak kita, meski sepotong donat kepunyaan adik kita yang sedang tertidur :-D