Catatan Selingan : Gulai Daging Kucing :D

Sebenarnya catatan ini telah aku posting lebih dari setahun lalu. Namun aku yakin tidak banyak teman yang tahu. Aku teringat lagi sebab ada beberapa sahabat yang jauh menyusuri notesku sampai pada catatan ini. Catatan yang tertimbun di bawah 150 catatanku yang lain.

Kebetulan juga di asramaku baru saja kedatangan binatang piaran baru. Setelah hamster, kura-kura, ikan, dan sekarang : Kucing Angora :D

Dan sebagai refresh otak dan jiwa, ada baiknya aku posting lagi catatan selingan ini, silakan di simak, cekidot :D


GULAI DAGING KUCING


Aku teringat salah satu cerita unik dalam kitab fikih, "Syarh Yaqut annafis", karya sayyid Ahmad assyathiri. Tepat saat pembahasan tentang binatang-binatang yang halal di makan dan yang haram di makan.

Dalam madzhab kita, madzhab syafi'i, dhowabit (batasan-batasan) soal binatang yang haram dimakan adalah semua yang bertaring, berkuku runcing, berparuh bengkok, dan binatang-binatang yang disebut keharamannya dalam teks-teks alquran dan hadits. Dan sebagian ulama' madzhab syafi'i, ada yang menyebutkan dengan detail binatang apa saja yang haram di makan dan halal di makan (coba rujuk kitab "Hayatul Hayawan al-Kubro" karya ad-Damiri)

Tentu termasuk kategori hewan yang haram dimakan, adalah Kucing ( tega banget, siapa sih yang mau maem kucing >.<)

Adapun madzhab Malikiyyah dan Hanafiyah/Ahnaf, dhowabith soal binatang yang haram dimakan dan yang halal, jauh lebih luas dan longgar. Yaitu hanya binatang yang jelas disebut keharamannya dalam al-qur'an - hadits,dan binatang yang kamu jijik memakannya (so, kalau tidak jijik, jadi tidak haram)

Makanya, ada yang menisbatkan pada madzhab maliki soal kehalalan kodok sama bekicot (weheheh :D mau nggak? Enak lho paha swike,ehehe) bahkan dalam salah satu riwayat dari Imam Malik sendiri, anjing itu halal, hanya saja riwayat ini mahjur, tidak dipakai oleh ulama' malikiyyah.

Adapun Madzhab Hanabilah, relatif sama dengan Syafi'iyyah. Nah, ini aku ada cerita, tentang dua sahabat karib dan kental. Yang satu dari Yaman, dan yang satu dari Mekkah.

Kebetulan yang dari Yaman,tentu saja bermadzhab Syafi'i. Sedang yang dari Mekkah, bermadzhab Maliki. Otomatis ya keduanya melaksanakan apapun yang telah digariskan oleh protokol madzhab masing-masing.

Suatu hari, sang sahabat datang dari Yaman hendak haji ke Mekkah, tentu saja dia mampir ke rumah temannya itu.

Sambutan begitu hangat, mereka berpeluk erat, berbagai cerita pelepas rasa rindu yang membuncah di dada dikisahkan, keduanya bernostalgia saat masih sama-sama belajar,merantau berdua.

Akhirnya waktu makan pun tiba, jamuan disediakan dengan sangat istimewa. Sang teman dari yaman ini makan dengan begitu lahapnya, menikmati hidangan kawan dari Mekkah tadi.

Usai makan, sang tamu bertanya dengan penuh ketakjuban : " subhanallah, umri maa akaltu zee hadzika elle qoddamto, marroh ladzidz, isy sawwet? Lahm eh dih?" (Subhanallah, seumur-umur baru kali ini aku maem daging yang enak sekali, empuk, gurih, daging apa yang barusan kamu suguhkan ?)

Dengan kalem dan tak ada perasaan berdosa (sekaligus lupa kalau sang sahabat ini madzhabnya Syafi'i !), sang tuan rumah menjawab : "Oooh, dubu elle akalt? 'Aidi, bas lahm bissah" (owh, yang barusan kamu santap tadi, biasa kok, cuma daging kucing)

Seketika berubah wajah sang sahabat dari Yaman tadi, entah apa yang ada dibenaknya, geram campur gregetan, tapi mau marah tidak bisa. Lagian sudah terlanjur dimaem dan bilang enak, ada-ada saja :D

Sekarang kalau tahu begini,apa hukumnya makan daging gajah? :D