Diaryku (85) : Selalu Dicurigai :D

[ "Terima kasih Ustadz", gadis itu tersenyum manis kepadaku. Dan dari sepasang mata jelitanya itu, kutangkap ada binar yang terasa lain. Entah tak kutahu binar apakah itu. Segera aku bergegas keluar usai mengucapkan salam, karena anak-anak memanggil-manggil diriku. ]

Penggalan cerita di atas, adalah petikan dari Cerpen "Catatan di Senja Hari", karya Awy' A. Qolawun, dalam antologi "Debu-Debu Intan" (2003).

Siapapun pasti mengatakan, bahwa tokoh "Ustadz" dalam cerpen itu adalah aku sendiri, heu.

@ @ @

[ "Bagaimana Aku harus bersikap Kang?", teriakku keras -sekali lagi- suatu hari atas rasa yang seolah memenuhi semua rongga dadaku ini.

"Nikmati, syukuri, arahkan cintamu pada dia, pada sang gadis, kepada-Nya. Ingat Lis, siapa Pencipta sejati dari Cinta?" Petuah Fauzan mendinginkanku. ]

Sepenggal episode di cerpen "Gadis Wirid", dalam antologi "Bila Kuncupnya Jadi Bunga" (2002). Tulisan Awy' A. Qolawun.

Banyak yang mengira, figur "Lis" di atas adalah diriku sendiri, hadewh.

@ @ @

[ Angin sore lembut membelai wajahku. Dengan langkah ringan dan lincah, aku menyusuri jalanan kembali ke bilik mungilku di pondok kuno. Besok aku akan kembali "gadisku", tunggu daku. Gadis cantik bak bidadari surga, yang kugiring sepiku ke pelabuhan hatinya. ]

Cerita tentang seekor tikus kecil dalam cerpen "Merindu Kasih", dalam antologi "Denting Nada Cinta" (2005). Karya Awy' A. Qolawun.

Lagi-lagi tetap bernasib sama, masih saja aku yang dikira sebagai pelaku cerpen itu, padahal jelas-jelas tikus (terungkap di akhir cerita).

@ @ @

Di antara sekian pengalamanku selama menjadi penulis, nasibku soal cerpen selalu mengalami "nasib sial". Masih saja dikira tokoh dalam cerpen-cerpenku itu aku sendiri.

Jadinya aku sempat malas mau membuat cerpen (alasan doank kalau ini kayaknya, bahasa ngeles dari "nggak bisa buat cerpen, nggak ada inspirasi" :p). Aku yakin sekali, pasti deh tokoh Fahri dalam AAC banyak pembaca yang mengira kalau itu kejadian nyata penulisnya sendiri, Kang Abik.

Gara-gara ini, aku pernah menulis artikel berjudul "Meng-khsunuddzon-i cerpen". Sebab, menikmati sebuah karya sastra, menikmati fiksi, itu harus mematuhi syarat-syarat yang tak tertulis. Salah satunya adalah saling berbagi rasa.

Maksudnya, kita tidak boleh terlalu egois dengan perasaan kita. Sebab apapun latar belakang sebuah cerpen, kita harus menilainya sebagai sebuah karya sastra, yang adakalanya menghibur, atau memberi kita pelajaran.

Kasihan penulisnya di suudzon-i mulu. Jangan-jangan kalau nanti nulis tentang lokalisasi, pelacuran, dikira pernah nglakuin.

@ @ @

Bicara su'udzon, atau buruk sangka, sebenarnya hal yang amat sensitif. Dalam aspek kehidupan apapun, kerap kali kita tidak bisa terlepas dari berburuk sangka, dan itu sering pula tak kita sadari.

Berapa kali Nabi mewanti-wanti soal buruk sangka ini, (hati-hati jangan buruk sangka, sebab ia adalah lintasan yang paling dusta). Juga memberi solusi, kalau tiba-tiba terlintas buruk sangka pada sesuatu, maka jangan diteruskan dengan pembuktian, sebab seringkali hanya kebohongan bisikan nafsu di hati.

Al-Qur'an juga bilang tuh, malah tegas menyatakan bahwa sebagian buruk sangka itu dosa. Kenapa? Sebab secara tak sadar terkadang timbul kebencian di hati, yang merembet pada penyakit-penyakit hati yang lain. Jadi maksud dosa adalah efek dan aplikasinya.

Tak heran, bila buruk sangka pada sesama saudara muslim sendiri, pada keluarga, pada pasangan, itu ditempatkan sebagai salah satu penyakit hati yang parah.

Karena pada stadium lanjut, seseorang itu bisa berburuk sangka pada Allah lho ! Na'udzu billah. Sementara Allah, menuruti prasangka hamba-Nya.

Sayang, kita kerap tak sadar bahwa setan pintar memasuki celah-celah itu. Salah satunya lewat media cerpen. Kecil memang, tetapi hal yang kecil itu bisa membesar dan memburuk. Bukankah kebakaran asalnya dari percikan api?

Pada akhirnya, kita dituntut untuk berbaik sangka pada setiap muslim, dan setiap manusia. Jika datang buruk sangka, maka segera buatlah asumsi fiktif atas jalan keluarnya, jangan beri setan kesempatan.

Nabi memberi contoh nyata soal ini. Bahkan lebih daripada suudzon, ini pelakunya malah mengakui kesalahannya. Saat ada sahabat yang terjatuh melakukan zina dan ingin taubat dengan dirajam. Setidaknya Nabi empat kali membuat asumsi, "mungkin kamu mimpi, mungkin kamu mabok, mungkin ngelantur", dan seterusnya.

So, akhir catatan, hindari hal-hal yang bisa membuatmu suudzon. Buat asumsi untuk menghindarinya, "ah tidak mungkin lah dia gitu, mungkin dia gini" dan lain-lain. Sebab, kalau terus-terusan Nurutin su'udzon malah buat makan ati mak cik ! Ya kan?

Belum tubuh yang tiba-tiba lemas dan terserang penyakit, sebab capek hati duluan apalagi kalau sampai tengkar :)

...