Setiap muslim, pasti memiliki ritual khusus yang berhubungan dengan hal-hal spiritual dalam kesehariannya. Dan tentu ini bukan sesuatu yang aneh. Semisal kita mempunyai kebiasaan ritual wirid usai subuh sampai waktu isyroq (terbitnya matahari), dan lain sebagainya.
Nah, penulis pun ada beberapa yang mempunyai ritual khusus berhubungan dengan tulisan dan profesi kepenulisannya dan ritual tersebut tentu saja berhubungan dengan ibadah. Contoh ini sangat banyak dalam sejarah orang-orang shaleh penulis masa lampau. Bahkan rata-rata punya.
Aku ambilkan sampel paling populer. Yaitu kitab paling fenomenal di dunia, best seller sepanjang masa, meski penulis dan ahli warisnya turun temurun sampai sekarang tak mendapat royalti dari tulisannya itu. Kitab tervalid setelah Al-Qur'an. Adi karya pemimpin ahli hadits, kitab "Shahih Bukhori".
Nah, tahu bagaimana proses Imam Muhammad bin Isma'il al-Bukhori menulis kitabnya itu? Sebelumnya, beliau terlebih dahulu mengedit ratusan ribu hadits bertranmisi yang beliau hafal, beliau pilih yang shahih-shahih saja untuk dimasukkan dalam calon kitabnya itu. Sampai terpilih sekitar 5000-an hadits lebih sedikit, beberapa ratus.
Waktu menulisnya, tidak beliau tulis begitu saja hadits-hadits terpilih itu, tetapi, setiap hendak menulis satu hadits, beliau berwudhu, sholat dua rakaat dulu, lalu menulisnya di depan muwajahah (depan makam Nabi). Begitu terus untuk setiap hadits. Itu beliau lakukan terus menerus sampai rampung 5000 hadits secara keseluruhan.
Jadi, 5000 hadits, 5000x wudhu, dan 10.000 rakaat ! Pantas kitab beliau sampai mendapat performa abadi seperti itu. Tapi jangan tanya berapa tahun kitab itu selesai ditulis, sekitar 4 tahun ! Dan jangan tanya lagi soal duit. Orang-orang setingkat beliau, tidak menulis untuk mencari uang, tetapi murni menyebarkan ilmu, dan mengharap ridho Allah. Makanya tulisan mereka bertahan belasan abad.
Hal yang sama juga dilakukan Imam Malik dengan magnum opus beliau, al-Muwattho'. Hanya saja, kalau imam Malik, tiap hendak menulis satu hadits, ritualnya adalah mandi besar lebih dulu.
Salah satu Guruku pun begitu, ustadz ihya' Ulumiddin, beliau melakukan ritual menulis muqoddimah kitab "jala-ul afham" di area Hijr Ismail, yang notabene dalam ka'bah.
Kalau sahabatku, Ustadz Ali Ridho, membawa karya tulisnya, "Rijalul Fath", dengan diumrohkan. Jadi saat umroh, kitab tersebut diritualkannya dengan dia bawa umroh.
@ @ @
Hal ini pun tentu saja aku lakukan. Pertama kali yang mengajariku melakukan ritual atas tulisan-tulisanku, adalah Ustadz Thoyfur. Usai aku rampung menulis "Quthuf Daniyah", beliau bilang padaku, "Tirakat-i kitabmu itu, biar berkah", kata beliau.
"Tirakat-i? Dengan apa ustadz, bagaimana caranya?" Tanyaku.
"Dengan apa saja, entah dengan puasa, atau sholat dua rakaat". Akhirnya aku bergegas sholat dua rakaat lillahi ta'ala untuk ritual mensyukuri kitab itu.
Dan sejak itu, sampai sekarang, aku mempunyai ritual tersendiri. Setiap sebelum menulis, aku pasti berwudhu. Jadi tak pernah aku menulis dalam keadaan hadats. Seluruh tulisanku aku tulis usai wudhu dan tentu saja dalam keadaan suci. Dan jika saat tengah-tengah menulis wudhuku batal, pena/keyboard/keypad segera aku tahan, aku letakkan, dan aku berwudhu lagi.
Sebuah memory, khusus untuk karya penelitianku, kitab "Nukhbatul Azhar", pembukaannya aku tulis di Raudhah, setelah itu, kitab tersebut aku ritualkan dengan membawanya di prosesi ibadah haji. Ketika masih berupa manuskrip.
Paling tidak, tiap aku usai menulis satu buku, pertama kali yang aku pribadi lakukan adalah bersujud syukur sembari baca doa "Allahumma Zidnaa wa laa Tanqushnaa".
@ @ @
Semua itu adalah dengan harapan semoga kitab tersebut bermanfaat bagi umat sampai hari kiamat. Sama sekali ini tak ada hubungan dengan bid'ah atau tidak. Apalagi para salaf sholeh melakukannya.
Hampir setiap penulis besar dalam sejarah Islam, mempunyai ritual khusus dengan tulisan-tulisan monumental mereka. Setidaknya mereka menulisnya tidak dalam keadaan berhadats.
Jadi sudah seyogyanya, bagi kita yang berprofesi menulis, untuk mengikuti jejak mereka. Jejak para salaf sholeh itu, demi keberkahan tulisan kita.
Dan keberkahan yang dimaksud di sini, adalah kemanfaatan bagi orang lain, terutama bagi diri kita sendiri. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang berguna bagi orang lain?
Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh Imam Malik, salah satu pencetus Madzhab 4. Saat beliau dituduh berepigon dengan menulis Muwattho'-nya. Beliau hanya menjawab pendek dan tegas, (Maa kaana Lillahi Yabqo, wa maa kaana li ghoirillahi yafna). Lihat saja, segala sesuatu yang dilakukan karena Allah, ikhlas, maka pasti abadi sepanjang masa. Dan sesuatu yang dilakukan tidak karena-Nya, ada obsesi lain, maka lihat saja, tak lama pasti dilibas masa.
Dan terbukti, seluruh kitab sejenis Muwattho' yang dikarang di masanya, oleh ulama'-ulama' besar juga, tak satupun ada, dan tak satupun sampai pada kita.
Memang hal ini sebenarnya seolah-olah remeh, namun justru inilah yang paling penting. Pembenahan niat, apapun itu, tanpa melihat apa tujuan kita menulis. Ini yang harus kita perhatikan.
Sebab kita semua tahu, bahwa segala sesuatu tergantung niat. Innamal a'mal binniyyah..
Nah, bagaimana? Saatnya perenungan. Key? Semoga :-)