Setangkai Mawar Untukmu . . .

Mungkin... Aku memang tidak bisa menghantar kepergianmu.
Mungkin... Aku memang tidak bisa memberikan penghormatan terakhir padamu.
Mungkin... Aku memang tidak bisa menshalati jenazahmu.
Mungkin... Aku memang tidak bisa mengantarmu ke peraduan terakhirmu.
Mungkin... Aku memang tidak bisa meratakan tanah di atas pusaramu.
Mungkin... Aku memang tidak bisa memanjatkan doa akhir untukmu.

Namun.. Seluruh kenanganku.
Seluruh salam hormat jauhku.
Seluruh pengakuanku akan khidmahmu
Seluruh doa-doa malamku
Bersama-sama mengantarmu...

Tak akan aku lupa sekalipun tepukanmu di pundak kecilku
Tersenyum engkau memberiku petuah kehidupan untukku.
Betapa aku mengagumimu.
Sepanjang hidupku.
Saat aku tahu sebagian besar rekanku begitu membencimu.

Aku tahu, engkau hidup untuk kami
Untuk kebahagiaan masa depan kami
Untuk membekali kami
Mengarungi kehidupan yang keras ini
Sayang, hanya sedikit yang mampu mengerti keinginan muliamu.

Takdzim aku cium tanganmu, selalu itu yang aku lakukan.
Sebab atas segala puji, aku tahu apa maumu.

Tegak, aku pandang langit yang membiru
Saat mataku perlahan memerah saga
Dan hatiku berubah abu-abu.
Pelan namun pasti.
Dengan senyum engkau terbang pelan.
Meninggalkan kami, melepaskan kami menempuh kehidupan.

Berkelebat... Sekian ribu kenangan..
Mengamuk..
Memporak porandakan..
Menyusun acak..
Mozaik dan puing masa lalu..

Terima kasih Guruku... Betapa kami sayang padamu..

Kami haturkan, serumpun mawar, melati, dahlia, anggrek, lili... Untukmu.

@ @ @

Rencana hari ini, aku ingin meneruskan catatanku. Tetapi sebuah kiriman di wall FB-ku menghentak dan mengejutkanku. Sebuah kabar duka atas wafatnya salah satu Guru SMP-ku. Pak Suntoyo Hasan, kami biasa memanggil beliau, Pak Toyo.

Sejenak ingin aku bernostalgia. Sekaligus suatu saat akan jadi salah satu seri catatanku. Bahwa di samping aku mencintai menulis, aku juga sangat mencintai Pramuka. Sebagian telah aku ceritakan pengalaman kemahku.

Dan Pak Toyo-lah, orang yang mendidikku pertama kali tentang kepemimpinan dan mengenalkanku lebih jauh pada pramuka. Masih ingat sekali saat pertama kali beliau menarikku untuk ikut Pramuka, mungkin beliau melihat talenta dalam diriku.

"Awy, sudah yakin ikut pramuka? Boleh kan sama abah? Nanti pak toyo akan suruh kamu pegang sapu lho. Mungkin kamu di rumah tidak pernah kerja bakti. Tapi di sini kamu akan belajar itu. Nanti suatu saat kamu akan selalu ingat Pak Toyo", ujar beliau sembari tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku, saat aku masih kelas satu SMP, 1996 silam.

Dan perkataan beliau memang benar, setiap aku memegang sapu untuk melaksanakan tugas khidmahku, yang selalu terbayang di pelupuk mataku adalah beliau. Kenangan sekaligus selalu menjadi selaksa doa.

Di antara banyak guru SMP-ku, pak Toyo adalah hanya di antara beberapa guru yang benar-benar aku kagumi. Entah, sejak kecil aku selalu suka dengan guru-guru berusia lanjut, guru yang kenyang pengalaman kehidupan, dan guru-guru yang mengenalkanku pada alam.

Bagiku sejak kecil, guru yang benar-benar guru, adalah guru yang membangun jiwa dan yang mengenalkan pada kehidupan. Memang guru yang hanya mengajarkan teori-teori saja tetap aku hormati setingg-tingginya. Namun tidak setinggi yang mengajariku arti hidup.

Dan Pak Toyo, adalah salah satu di antara sedikit guru yang mengajariku arti hidup.

Selamat jalan pak Toyo...
Semoga seluruh cintamu, menjadi amal terbaikmu di hadapan Rabb-mu..

Aku tahu engkau mendidik kami untuk jadi orang... Dengan cintamu..

Tak ada yang bisa aku haturkan buatmu, kecuali untaian doa, dan setangkai mawar, yang masih basah oleh duka.. (*)