Catatan Khusus : Dilanda Kebingungan (gara-gara Natal)

Waktu orang kristen sibuk ber-merry christmas kemarin (dan beberapa hari sebelumnya), kita umat islam diributkan oleh pertanyaan "bolehkan kita mengucapkan selamat natal pada orang kristen?", sekaligus menyaksikan sendiri dalam berbagai forum diskusi perdebatan keras antara yang pro dan yang kontra. Antara yang membolehkan, dan yang mengharamkan dengan dalil dan argumen masing-masing.

Posisiku pribadi kemarin, terus terang adalah hanya mengamati dan menjawab seperlunya atau berkomentar pendek jika kebetulan pertanyaan itu ditujukan padaku. Menjelaskan apa adanya pendapat-pendapat ulama' dalam hal ini.

Sebab sebenarnya, jika diperhatikan secara seksama, yang terjadi dibalik itu, efek daripada semua diskusi-diskusi kemarin adalah rupanya "lebih" daripada sekedar bertanya "bolehkah kita mengucapkan selamat natal?".

Sejenak kita flashback ke beberapa tahun silam. Tak jauh-jauh, 7 tahun lalu, aku pribadi tak mendengar sekalipun pertanyaan ini dilontarkan lantas menimbulkan keributan antar umat islam setiap menjelang natal (sementara yang merayakannya, sama sekali tak bingung !).

Dulu, tiap datang 25 desember, semua berjalan biasa-biasa saja, tak ada apa-apa. Lantas kenapa sekarang tiba-tiba ribut? Ada apa di balik semua ini? Permasalahan menurutku tidak sekedar menyangkut haram atau halal. Tetapi ada misi khusus bagaimana sekiranya umat islam ribut sendiri saling berbentur di dalam, dan ironisnya ini diumpankan sendiri oleh umat islam.

Sehingga yang terlihat begitu mengerikan. Yang berpegang pada pendapat mengharamkan, sampai memusyrikkan dan mengkafirkan siapapun muslim yang mengucapkan selamat natal dengan dalih bahwa muslim tadi sama saja setuju dengan kekufuran. Timbul pertanyaan, lantas apakah muslim yang mengucapkan sementara tak terbersit sekalipun di hatinya bahwa dia setuju dengan kekufuran masih juga dianggap kafir? Apa Islam mengajarkan seperti itu? Sangat memaksa sekali, sebab hal ini berputar pada permasalahan hati.

Yang pihak satunya pun juga keterlaluan, malah mewajibkan mengucapkan selamat natal dengan dalih toleransi antar umat beragama. Pluralisme, semua agama benar, dan lain sebagainya yang sampai sangat tampak sekali dia kehilangan identitas kemuslimannya.

Memang pertanyaan ini sudah ada, namun ditanyakan dalam permasalahan fiqhul aqolliyaat (fiqh minoritas), terutama bagi muslim yang hidup di negara-negara kristen, atau tinggal di komunitas kristen, atau sehari-harinya berinteraksi dengan kristen. Yang dijawab oleh ulama' dengan dibolehkan mengucapkan sekedar sebagai basa-basi dan membalas kebaikan dengan kebaikan. Juga dengan beberapa syarat tertentu.

Lantas kalau kita? Kita ini hidup di komunitas muslim, di wilayah-wilayah muslim, terus apa faedahnya jika kita mengucapkan selamat natal? Mau diucapkan juga pada siapa? Terus andai mengucapkan apa ada hal positif yang kembali pada kita? Lalu apa gunanya pertanyaan yang tidak perlu itu?

Permasalahan tak lebih daripada hanya ingin membuat ramai, memantik api fitnah, dan makin membuat bingung orang awam saja. Yang dengan kebingungan mereka, orang-orang alim dan shaleh pun jadi turut bingung juga.

@ @ @

Kerap kita tak sadar, sering kali kita suka dengan fitnah. Beberapa tahun terakhir ini, bangsa kita, terutama umat islam, suka sekali dengan hal-hal yang berbau fitnah, yang berimbas saling bentur, saling hantam, saling ancam, saling mengkafirkan, bahkan membunuh saudara muslim sendiri.

Fitnah itu tidur, Allah melaknat siapapun yang membangunkannya, begitu deskripsi sebuah hadits.

Persoalan boleh tidaknya mengucapkan natal, hanya sebagian kecil saja dari percikan api fitnah yang memang sedang berkobar di negara kita. Saat yang kini antara kelompok islam sendiri saling klaim diri mereka yang paling benar sementara yang lain salah, sesat, dan keluar dari agama.

Yakin sekali saat ini orang kristen masih menikmati ayam kalkun panggang mereka, sementara di hati kita masih tersisa kegondokan akibat perdebatan kemarin. Aneh, orang kristen yang berhari raya, kita yang tengkar. Sangat tidak dewasa dan tidak ilmiah, sama sekali.

Mestinya kita juga sadar, banyaknya bencana yang terjadi di negara kita beberapa tahun terakhir ini jika kita mau merenung dalam, adalah salah satunya sebab kesalahan kita sendiri orang islam. Belum ambrolnya dinding moral.

Namun sekali lagi sayangnya, kita menganggap bahwa bencana ini hanya fenomena alam biasa. Lalu dari mana kita bisa sadar kalau terus lalai begini?

Aku sempat tertegun saat mengkaji kitab ihya' barusan. Nabi bersabda : "sesungguhnya, Allah tak akan menimpakan bencana pada orang-orang shaleh sebab dosa-dosa yang dilakukan oleh orang awam sampai dia melihat kemungkaran di depan mereka, dan mereka sebenarnya mampu mencegahnya, tetapi hanya diam saja tak melakukan apa-apa". Terjadi di bangsa kita kan? Banyak mana ulama' yang diam dengan yang gerak mengingatkan akan hal-hal yang mungkar? Yang gerak saja, dicibir habis-habisan. Dibodohk-bodohkan.

Di hadits lain nabi bilang, "Bagaimana sikap kalian, jika wanita-wanita kalian sudah berani, anak-anak kalian rusak moralnya, dan kalian sendiri meninggalkan jihad?"

"apa hal itu akan terjadi duhai Rasul?", tanya sahabat.

"Ya, demi Allah, bahkan lebih". Jawab Nabi.

"Bagaimana juga sikap kalian saat kalian tak menganjurkan pada kebaikan dan mencegah keburukan?"

"Bagaimana sikap kalian jika kalian malah ingkar pada hal yang baik, dan sebaliknya menganggap hal-hal buruk itu baik?"

"Bagaimana sikap kalian, jika justru kalian mengajak pada keburukan dan mencegah kebaikan ?!"

"Saat itulah Allah Berkata : Dengan sumpah atas Nama-Ku, akan Aku timpakan fitnah besar yang orang shaleh pun jadi bingung dengan fitnah itu" (HR Ibnu Abid Dun-ya, dan Abu ya'la).

Nah, sudah sampai semua kan? Sinyalir Nabi 1400 tahun silam?

Jika kita mempelajari ilmu asyratis sa'ah (ilmu khusus yang mempelajari tanda masa, sistem-sistem dajjal dan mahdi), maka saat ini kita sedang masuk dalam masa "Fitnah Duhaima' ". Sebuah masa penuh fitnah yang semua jadi serba tidak jelas, mana yang benar dan mana yang salah.

Maka saat terbaik saat ini, adalah kembali pada ulama-ulama yang tidak suka melontarkan fitnah, yang memancing perdebatan (dengan dalih diskusi dan majlis ilmu). Ulama' yang hanya mengarahkan kita sepenuhnya pada Allah, yang mengajak kita mencintai Nabi, dan berkontemplasi merenungi alam dan kehidupan. Itu yang terbaik kita lakukan sekarang. Wallahu a'lam (*)