Kejadian ini, aku alami saat masih SMP. Dulu, jika sekolah, aku selalu bersepeda. Memang sekolahku tidak jauh, 1,5 km lah, tetapi berangkat dan pulang dengan bersepeda adalah hal yang sangat aku nikmati. Tentu saja juga pergi ke manapun aku bersepeda. Masaku saat itu masih belum umum remaja menggunakan motor.
Suatu hari, aku pulang dari sekolah, usai kegiatan Pramuka, dan aku membawa tongkat pramuka. Karena tidak memungkinkan untuk menentengnya, maka tongkat tersebut aku ikatkan pada sepedaku.
Nah saat di tengah jalan, karena tidak memperhitungkan panjang tongkat yang menonjol di depan sepedaku, tanpa sengaja tongkatku menyentuh bagian belakang mobil yang sedang parkir. Tak ayal sepedaku berhenti mendadak dan aku hampir terjatuh. Meski sempat mengerem hanya saja terlambat.
Seketika itu juga si empunya mobil (yang sedang mencuci mobilnya) menuju ke sumber suara, akibat sentuhan tongkatku tadi. Aku memasang senyum agak takut dan minta maaf.
Yang tidak aku kira, ternyata dia marah bukan main, membentak-bentakku, yang ugal lah, yang tidak punya mata, sampai bagaimana jika ada gores di mobilnya, bagaimana jika goresannya panjang. Aku hanya ternganga heran, MasyaAllah, sampai segininya? Mobilnya pun tidak apa-apa, tidak gores sedikitpun, karena tongkatku hanya menyentuh sedikit tidak terlalu keras.
Yang tidak aku kira, kejadian tersebut ternyata diam-diam mengendap dalam ingatanku, dan aku selalu heran setiap ada orang yang begitu ribut ketika mobilnya tergores sedikit saja. Atau begitu hati-hati merawat mobilnya, jangan sampai ada goresan meski satu senti saja.
Dan hal ini sangat berbalik jauh sekali dengan tabiat dan kebiasaan orang arab. Tentu saja aku tahu setelah berada di Mekkah. Entah ini tabiat, atau karena mereka tidak terlalu pusing dengan benda dunia, atau karena kesembronoan, tergantung niat masing-masing. Tetapi yang pasti tetap ada pembelajaran dalam tatacara mensikapi harta dunia.
Yang pasti, kalau orang Arab, mobil sekelas Audy sekalipun, apalagi cuma Camry (yang di negara kita adalah tumpangan pejabat), atau mobil-mobil di bawahnya, bahkan sampai tepos, penyok sana-sini sekalipun mereka tidak ambil pusing, apalagi cuma tergores.
Orang kita? Mobilnya tergores sedikit saja menyesalnya minta ampun, mengeluh panjang pendek, apalagi kalau terserempet, pasti misuh-misuhnya tidak berhenti-henti. Bahkan beberapa rekanku sendiri saat mobil Kyai yang dia sopiri mengalami hal sederhana seperti itu (sementara sang Kyai sendiri, yang punya mobil saja tidak pusing, ini sopirnya pusing).
Bukan menjudge, namun sebuah pertanyaan dalam hatiku pribadi, apakah harus sampai seperti itu reaksi terhadap benda dunia? Oke lah merawatnya, adalah sebuah keharusan dan merupakan bentuk penjagaan terhadap nikmat.
Tetapi apakah ketika kita mengalami "kecelakaan" kecil saja pada benda yang kita punya lalu kita mencak-mencak seperti itu? Sementara "kecelakaan" pada Iman kita kerap melupakannya begitu saja.
Memang hal seperti ini terlihat sepele, namun jika kita meremehkannya, maka mental ini bisa menjadi sebuah penyakit hati yang sangat menghancurkan. Virus kecil tak kasat oleh mata hati, namun pada perkembangan berikutnya bisa menghanguskan pahala-pahala amal baik pengidapnya. Cinta dunia.
Mbok ya biasa saja lah jika kita mengalami kayak hal-hal di atas. Tidak perlulah mengata-ngatai, apalagi mengeluh merepet panjang pendek. Setidaknya tirulah mental orang Arab dalam hal menyikapi dunia, tidak terlalu memperdulikan (ya meski tentu saja hal ini bisa jadi karena mereka sudah kaya, jadinya biasa saja menanggapi kejadian mobil penyok. Atau bisa jadi karena kesembronoan).
Namun terlepas dari latar belakang tabiat "tidak peduli" itu, adalah bisa kita ambil pelajaran bagaimana kita bersikap terhadap harta dunia. Sebab harta dunia, pasti akan mengalami kerusakan, cepat atau lambat.
Yang terpenting lagi adalah, tidak tergantung dengan harta itu. Sebab ketergantungan inilah yang membunuh, sebagaimana yang aku katakan.
Pada akhirnya, dalam tatacara mensikapi harta dunia adalah, jadikan ia hanya ditangan kita saja, dan jangan jadikan ia ada dalam hati kita. Inilah zuhud yang selama ini kerap kali kita dengar. Seyogyanya (dan keharusan) yang menjadi tempat ketergantungan, cuma Allah Ta'ala semata.
Mengutip kalimat Abadi Sultan Nuruddin Mahmud az-Zanky, saat memberikan pelajaran penting kepada seluruh tentaranya, dengan memacu kencang-kencang kudanya bolak-balik pada arah matahari : "Lihat, seperti inilah dunia, ia laksana bayangan. Jika kalian mengejarnya, maka kalian tidak akan pernah bisa menggapainya. Tetapi jika kalian meninggalkannya, maka ia yang akan berlari kencang mengejarmu."