Diaryku (111) : Pisang Goreng 50 Rupiah :D

Soal uang, harga barang, entah tanpa aku mengerti, sering sekali benakku masih terhenti pada nilai pada era 20 tahun lalu, jadul amat.

Jadi gini, kalau sekarang ada yang bilang bahwa sepotong pisang goreng harganya 1000 rupiah, maka aku pasti bilang, "lah jamanku dulu cuma 50 rupiah". Kalau ada yang bilang bahwa harga sebungkus nasi pecel itu 3000, aku pasti berkomentar, jamanku dulu cuma 500.

Lebih dari itu, aku sering terheran-heran mendengar bahwa anak sekarang kalau sekolah, uang sakunya berkisar antara 5000-10000, aku dulu saat masih madrasah, berangkat dengan uang saku 200 rupiah saja rasanya sudah sangat kaya (rata-rata temanku bawa uang saku 100, atau 75 rupiah, Laweyan Telu :D). Ketika SMP, naik jadi 500.

Semangkuk mi bakso 250, es cendol 50, pisang goreng 50, permen mentos 2 biji 50, masih bawa pulang 100. Lah sekarang 5000 buat apa saja? (halah, tinggal nambah nol doang wy). Berarti permen 2 biji 500 dong? Jamanku 500 dapat permen 20 !

Jadi teringat 8 tahun lalu, saat aku memberi uang adikku, selembar 1000 rupiah, dan reflek dia bilang, "Yah Cak, Mu' Sewu (Ya, cuma 1000)". Dan aku sangat heran, dulu aku diberi pakdeku 1000 udah bisa pesta seminggu. Akhirnya aku angsurkan 10000 setelah dia bilang, nolnya kurang satu :D

jadi kebalikannya juga, kalau ada yang bilang bahwa harga 90 ribu sangat murah, pikirku, dulu kita diberi 50 ribu itu sudah sujud syukur. Perasaan paling kaya sedunia. Makanya pernah aku sangat heran kalau ada yang bilang jika 1 juta itu tidak ada harganya. Widiw.

Memang tentu ini semua berhubungan dengan perubahan di dunia ekonomi. Naiknya harga minyak berpengaruh pada barang (halah, bukan tukang ekonomi bicara ekonomi, ngibul kamu :D). Mestinya secara logika kan, barangnya naik, duitnya juga pendapatannya ikut naik.

Tapi kenyataannya? Harga barang naik, pendapatan tetap, efeknya, yang miskin tambah miskin, yang setengah-setengah jatuh miskin. Yang kaya, terbang sendirian. Sangat timpang dan timbul kesenjangan luar biasa (terlihat sekali bukan?).

Kalau di analisa dari sudut ekonomi dan keproduktifan masyarakat, atau otak-atik hal-hal ilmiah duniawi, merupakan suatu hal yang maklum dan dengan jawaban yang sangat rasional sekali (yang bisa disampaikan ahlinya).

Namun, tulisan ini, mencoba menilai dari sudut lain. Keberkahan. Jaman sekarang, uang seperti tidak ada berkahnya, cepat habis, entah hilang ke mana. Dari sudut pandang agama, hilangnya keberkahan, pasti sebab sebuah dosa yang dilakukan. Begitu pula bencana.

Coba bandingkan (dengan tanpa melihat sebab), angka kemakmuran dan keberkahan harta antara saat ini dengan medio 17 tahun lalu saja. Pasti sangat terasa sekali bukan? Makanya jangan heran banyak yang rindu dan suka eranya Pak Harto. Sebab tahu sendiri rasanya keberkahan harta.

Sebenarnya, keberkahan kekayaan alam suatu bangsa, hanya cuma butuh dua konsep sederhana saja. Tidak banyak-banyak dan muluk-muluk. Dua konsep ini, jika dijalankan, maka keberkahan yang berujung pada kemakmuran sehingga mengantarkan ketenangan hidup, akan tercapai.

Pakai sistem apapun, tanpa dua konsep dasar ini, kehidupan tak akan berkah. Apa dua konsep itu? Beriman dan Bertakwa. Sederhana sekali bukan?

Makanya coba lihat dan di survey, jika ada komunitas, yang sekere apapun, tetapi hidupnya tetap makmur, berkah, dan tenang, maka kita akan menemukan komunitas itu adalah komunitas pesantren (silakan dibuktikan kalau belum percaya).

Komunitas ini, menjalankan manajemen beriman dan bertakwa tadi. Ada uang ya bersyukur, tidak ada ya sabar, dinikmati apa adanya.

Ingat Kyaiku saat dawuh, kalau negara ini menjalankan managemen pesantren, managemen Amanu Wattaqou, pasti akan makmur dan mendapat keberkahan dari langit. Sebab memang ini garansi khusus dari Allah yang tertulis dalam al-Qur'an. Dan apakah Allah pernah mengingkari janji-Nya?

Benar menurutku jika Gus Dur dalam tulisannya mengungkapkan bahwa pola watak tarekat masyarakat pesantren sekaligus persambungannya itu menjadikan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga keagamaan yang khas yang justru menyediakan kedamaian dan ketenangan di tengah masyarakat yang dinamis.

Dan itu, sebab managemen tadi. Karena selain kedamaian dan ketenangan, apa yang kita cari dalam hidup ini?

Pada akhirnya, yang harus kita lakukan adalah introspeksi. Tidak ada rasa takwa, rasa takut pada Allah, membuat melemahnya iman, dan akhirnya mendorong seseorang melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan secara moral, sosial, dan agama.

Yang tentu akhirnya berujung dosa. Dan sebuah dosa, jika tak ditaubati, bisa membuat ditariknya keberkahan. Na'udzubillah. Hal yang sama sekali tak diharapkan siapapun.

So? Beriman dan Bertakwa.. Itu kunci kemakmuran hidup.