Nih teman-teman, cerpen horor yang beberapa saat lalu aku ikutkan Lomba, tapi keok :D
NYI JAH
Selalu saja perasaan takut menyeruak dalam diriku, meremangkan bulu kudukku, mempercepat pacu detak jantungku, bahkan kerap ingin membuatku melangkah panjang melarikan kaki-kaki kecilku setiap kali aku melewati gubuk tua di persimpangan jalan itu.
Bangunan bilah bambu reot nan suram, kecil, sempit, penuh gundukan sampah yang entah dipulung dari mana saja oleh sang empunya gubuk, seorang wanita tua, berwajah keriput sangat tirus, berkulit kasar berkerak, tertutup oleh daki yang menebal, rambut yang seluruhnya putih menggimbal kusam oleh tanah, penuh kutu, entah berapa lama dia telah lupa dengan air. Bau busuk menyebar dari gubuk tua itu, menyesakkan hidung, mendesak perut ingin mengeluarkan isinya. Muntah.
Aku tak habis pikir, bagaimana keluarganya menelantarkannya, mengapa membiarkan nenek yang telah lanjut usia, yang hanya tinggal menunggu kematian, seorang diri dalam kesuraman luar biasa. Hanya ditemani seekor kucing kurap yang diikat di ambang lobang gubuk itu. Ya, lobang, sangat tak layak jika dikatakan pintu. Hanya memberinya makan di sebuah piring plastik biru yang tak pernah dicuci, makanan yang tak pantas disebut makanan.
"Kalau Nyi Jah mati, pasti dia jadi jerangkong, akan menakuti siapapun," kata-kata teman seperjalananku setiap berangkat sekolah, selalu saja mengganggu benakku.
Aku memang tak punya pilihan, harus aku lewati jalan itu jika berangkat sekolah, untuk selalu bertatap mata -sebelum aku lempar jauh-jauh pandanganku- dengan nenek tua yang bagiku sangat menyeramkan itu. Persimpangan ini, tempat gubuk reot berada, hanya satu-satunya akses menuju sekolahku.
"Jangan nakut-nakutin gitu ah," celetukku.
"Lhoh, beneran ini, dia tidak pernah mandi, tidak pernah sholat, bau," temanku tetap bersikeras dengan pendapatnya.
Dan tak cuma temanku yang bilang begitu, hampir seluruh orang mengamininya. Sejak itu, kematian nenek tua tadi, adalah hal yang paling tidak aku harapkan. Lebih baik Nyi Jah tidak mati daripada arwahnya bergentayangan menakut-nakuti siapapun.
Bagiku, pengumuman kematian selalu saja mengerikan. Jika aku dengar microphone Masjid bergemerisik tidak pada waktunya, bukan pada waktu adzan berkumandang, bukan usai bedug ditabuh berdentam-dentam, maka bisa aku pastikan, bahwa itu adalah pengumuman kematian.
Dan setelah itu, aku pasti lari tunggang langgang mencari siapapun, menuju keramaian, menghilangkan ketakutan yang mencengkeramku barusan dalam kesenyapan. Dan lebih dari itu, yang sangat tidak aku inginkan, adalah nama Nyi Jah yang disebutkan usai kalimat "Inna Lillah Wa Inna Ilaihi Roji'un".
"Ibu, bagaimana nanti jika Nyi Jah mati?" tanyaku pada Ibuku, seraya beliau mengelus lembut kepalaku yang berada dalam pangkuannya.
"Kenapa Nak? Ada apa dengan Nyi Jah? Kasihan Nenek Tua itu, tidak diperhatikan keluarganya," jawab ibuku penuh keprihatinan.
"Dia pasti jadi Jerangkong Bu, rohnya gentayangan menakuti siapapun," ujarku.
"Huss! Tidak boleh bilang gitu, tidak baik," tegur ibuku.
"Kenapa Bu? Bukankah dia tidak pernah sholat? Tidak puasa? Bukankah Ibu pernah cerita, telah belasan tahun Nyi Jah ada di gubuk itu," selaku.
"Anakku, tidak ada ceritanya orang mati bisa bangkit lagi, apalagi menakut-nakuti, ruhnya telah kembali pada Allah," tukas Ibuku.
"Tapi cerita-cerita itu Bu? Pocong, Jerangkong, Wewe Gombel, Sundel Bolong, Endas Glundung, kemamang? Bukankah itu dari orang-orang jahat yang tak pernah sholat?" Aku masih menyangkal dalam keluguanku, di tengah perasaan takutku akan kematian Nyi Jah.
"Tidak anakku, itu hanya ulah setan, yang ingin membuat fitnah dengan menjelma menjadi orang yang meninggal tadi, sehingga dengan itu, semua orang akan menggunjingnya. Tak sadar tercebur dalam dosa besar. Dan setan akan gembira jika usahanya berhasil," terang ibuku.
Aku mengangguk-angguk pelan, bisa aku pahami kata-kata ibuku. Tetapi ketakutanku tak kunjung pergi. Aku tetap berharap, Nyi Jah tidak mati.
Dan sosok seram Nyi Jah, selalu membayang di pelupuk mataku menjelang kupejamkan mata, tidur di serambi Masjid desa beserta teman-teman sebayaku. Memang aku jarang tidur di rumah, memalukan jika anak seusiaku masih tidur di rumah dalam dekapan ketiak ibu.
Dan menjelang tidur, Selalu saja mataku terlebih dahulu menerawang menatap langit-langit masjid yang penuh sarang laba-laba. Jika masih hidup saja Nyi Jah begitu menghantui, bagaimana kelak jika mati?
Maka tidur di antara teman-teman, adalah selalu pilihanku, di samping hangat, juga lebih menentramkan hatiku yang kalut oleh takut. Akan didampingi gendruwo bagi penakut yang berani-berani tidur di tepi gerombolan. Itu teror yang aku terima dari teman-temanku.
Karenanya pula, aku lebih suka buang air kecil usai Isya' saat hari belum terlalu gelap, daripada harus terbangun malam-malam untuk menuju kamar kecil masjid yang sepi, licin, gelap tanpa penerangan. Sosok Nyi Jah selalu menghantuiku di kamar kecil itu.
Sebenarnya dia tidak sendiri, beberapa meter dari depan gubuk reotnya berdiri kokoh rumah anak pinaknya. Tetapi sebuah kecelakaan motor beberapa belas tahun silam, merubah hidup Nyi Jah menjadi memilukan. Pikun, lumpuh dan jompo. Anak-anaknya tega mengasingkan nenek tua itu seorang diri, tanpa diberi fasilitas yang layak bagi orang lanjut usia yang tak mampu apa-apa lagi. Itu kisah yang kudengar sedikit tentang Nyi Jah.
Aku hanya menerawang membayangkan wanita tua itu, bukankah itu sebuah kedurhakaan yang luar biasa? Ah, pikiran kanak-kanakku masih belum mampu memahami semua itu, yang aku dengar dari Pak Guruku, bahwa menaruh orang tua di panti jompo adalah bentuk daripada kedurhakaan yang sangat berat, apalagi ini menelantarkannya dengan memberinya makan seperti memberi makan kucing. Aku coba menganalogikan saja.
Memang hari-hariku tiap berangkat sekolah dan tiap pulang sekolah, selalu sama, diantar dan disambut mata nanar Nyi Jah. Itu yang selalu membuatku ketakutan, meski aku tahu, pandangan mata itu tak sedang menatap apa yang ada di depannya, entah berkelana ke mana.
Pernah pula kudengar kisah, bahwa Nyi Jah pernah dimandikan paksa oleh tetangga-tetangga yang tak tahan dengan baunya. Ditelanjangi dan disiram digosok pakai sabun cuci di sumur terbuka, sehingga jadi tontonan anak-anak. Itupun keluarganya hanya diam dan melihat adegan itu. Miris.
Nyi Jah? Tentu saja berteriak-teriak meracau tidak karuan, memberontak tidak mau dimandikan. Setelahnya, dia menggigil kedinginan dan terus mengomel dengan bahasa yang tak lagi bisa dipaham. Sebagian orang menyebutnya, gila. Mak Lampir, Nini Pelet, dan sebagainya dari tokoh-tokoh seram yang sering kudengar kikik tawanya di sandiwara radio sore hari.
Sugesti bakal perubahan Nyi Jah menjadi jerangkong jika mati nanti telah begitu kuatnya menancap dalam benakku. Kata-kata ibuku tentang fitnah setan yang selalu kugunakan untuk menepis ketakutan itu tak mampu mencerabut sugesti yang setiap saat didengung-dengungkan beberapa teman sepermainanku.
Aku selalu berharap, sedang tidak ada di desa jika memang Nyi Jah mati nanti, biarlah dia mati di hari lebaran saat aku ada di kota berlibur di rumah kakekku. Seminggu setelah kematiannya, baru aku balik. Itu yang aku inginkan setiap benakku teringat sosok Nyi Jah.
# # #
Musim hujan tak kunjung selesai, di mana-mana aku dengar banyak desa sepanjang bantaran sungai Bengawan Solo mengalami bencana kebanjiran. Desaku pun terancam oleh luapan Bengawan Solo yang begitu mengerikan.Seisi desa sibuk, menggalang penduduk untuk bahu membahu meninggikan bendungan darurat. Karena volume air bengawan solo yang terus meningkat. Kecemasan seisi desa berpusat pada banjir yang akan melanda.
Aku masih dengan aktivitas harianku, berangkat sekolah, meski keadaan desa sedang siaga satu, walau aku takut desa akan kebanjiran saat aku berada di sekolah. Ketakutan baru yang membuatku lupa dengan Nyi Jah. Entah aku sama sekali tak ingat, yang aku tahu adalah, desaku mau kebanjiran, maknanya aku bakal tidak bisa sekolah.
Namun sore yang sedang mendung gelap itu benar-benar lain, sebuah pengumuman di Masjid, yang aku kira pengumuman agar penduduk bekerja bakti seperti biasanya, ternyata bukan, tetapi pengumuman kematian. Aku terkesiap, siapa yang meninggal di saat sangat genting ini? Apakah akan ada yang menguburkan?Dan aku terpaku di tempatku, ketika nama yang diumumkan ternyata Nyi Jah ! Dunia seketika gelap, ketakutan luar biasa menyergapku, aku berlari mencari ibuku sebelum menghambur ke pelukannya dengan ketakutan yang tak bisa kugambarkan. Ibuku heran dengan sikapku yang tak biasanya?
"Kenapa Nak?"
"Nyi Jah bu, Nyi Jah..." tak bisa kuteruskan kata-kataku. Dan yang kurasakan setelah itu adalah pelukan hangat ibuku yang sedikit menghilangkan takutku.
Malam itu mataku tak bisa terpicing, aku tidak berani tidur di masjid. Aku tidur dekat ibu dan adik-adikku. Usai Maghrib tadi Nyi Jah segera dikuburkan, sebagian penduduk mensemayamkan tubuhnya. Banyak kisah seram kudengar dari teman-temanku usai maghrib itu juga. Bahwa jenazahnya tidak bisa diangkat, terasa berat, padahal tubuhnya kecil dan ringkih, bahwa kerandanya hampir jatuh, dan sebagainya, dari cerita-cerita tak lumrah yang membuatku serasa hampir mati kaku karena ketakutan.
Dan saat aku mendekapkan wajahku ke bantal, di malam yang semakin larut, tiba-tiba corong masjid bergemerisik, aku mendongak cepat, ada apa ini? Malam-malam begini?
Semuanya berubah menjadi kekalutan yang luar biasa, ternyata bendungan desaku jebol. Air sungai Bengawan Solo masuk dengan begitu dahsyatnya ke desaku, pengumuman himbauan segera mengungsi diselingi tabuhan kentongan tanda bahaya dari poskamling-poskamling bertalu-talu memecah keheningan malam bergerimis.
Oleh ibuku, aku dan adik-adikku dituntun menuju masjid yang memang bertingkat, desa telah gelap gulita, karena aliran listrik telah padam.
Hanya barang seadanya dan buku-buku sekolah yang bisa aku bawa ke masjid. Setelah itu aku tertidur dalam perasaan yang tak menentu.
# # #
Pagi ini aku harus mengungsi meninggalkan desaku yang tenggelam oleh banjir. Oleh ayahku, aku beserta ibu dan seluruh adikku, diungsikan ke kota, ke rumah kakekku.
Sejenak, masih sempat aku berdiri di tanggul bendungan tepi desaku. Kuedarkan pandanganku melihat desaku yang kini seolah menjadi danau maha luas. Jauh kulempar pandanganku ke kaki langit yang pagi ini tampak cerah.
Tiba-tiba aku teringat seseorang, ya, Nyi Jah, nenek tua itu. Begitu pilu nasibnya, kematiannya pun disambut oleh banjir yang menenggelamkan desaku. Hanya berselang beberapa jam dari pemakamannya saja.
Namun setidaknya, dengan bencana itu, aku bisa memastikan satu hal, mengingat seluruh penduduk mengungsi meninggalkan desa, bahwa Nyi Jah, tenang di alam sana, dan tidak akan menjadi jerangkong. (*)
Makkah, 18 Maret 2011, mengenang masa kecil.. Based from true story..
NYI JAH
Selalu saja perasaan takut menyeruak dalam diriku, meremangkan bulu kudukku, mempercepat pacu detak jantungku, bahkan kerap ingin membuatku melangkah panjang melarikan kaki-kaki kecilku setiap kali aku melewati gubuk tua di persimpangan jalan itu.
Bangunan bilah bambu reot nan suram, kecil, sempit, penuh gundukan sampah yang entah dipulung dari mana saja oleh sang empunya gubuk, seorang wanita tua, berwajah keriput sangat tirus, berkulit kasar berkerak, tertutup oleh daki yang menebal, rambut yang seluruhnya putih menggimbal kusam oleh tanah, penuh kutu, entah berapa lama dia telah lupa dengan air. Bau busuk menyebar dari gubuk tua itu, menyesakkan hidung, mendesak perut ingin mengeluarkan isinya. Muntah.
Aku tak habis pikir, bagaimana keluarganya menelantarkannya, mengapa membiarkan nenek yang telah lanjut usia, yang hanya tinggal menunggu kematian, seorang diri dalam kesuraman luar biasa. Hanya ditemani seekor kucing kurap yang diikat di ambang lobang gubuk itu. Ya, lobang, sangat tak layak jika dikatakan pintu. Hanya memberinya makan di sebuah piring plastik biru yang tak pernah dicuci, makanan yang tak pantas disebut makanan.
"Kalau Nyi Jah mati, pasti dia jadi jerangkong, akan menakuti siapapun," kata-kata teman seperjalananku setiap berangkat sekolah, selalu saja mengganggu benakku.
Aku memang tak punya pilihan, harus aku lewati jalan itu jika berangkat sekolah, untuk selalu bertatap mata -sebelum aku lempar jauh-jauh pandanganku- dengan nenek tua yang bagiku sangat menyeramkan itu. Persimpangan ini, tempat gubuk reot berada, hanya satu-satunya akses menuju sekolahku.
"Jangan nakut-nakutin gitu ah," celetukku.
"Lhoh, beneran ini, dia tidak pernah mandi, tidak pernah sholat, bau," temanku tetap bersikeras dengan pendapatnya.
Dan tak cuma temanku yang bilang begitu, hampir seluruh orang mengamininya. Sejak itu, kematian nenek tua tadi, adalah hal yang paling tidak aku harapkan. Lebih baik Nyi Jah tidak mati daripada arwahnya bergentayangan menakut-nakuti siapapun.
Bagiku, pengumuman kematian selalu saja mengerikan. Jika aku dengar microphone Masjid bergemerisik tidak pada waktunya, bukan pada waktu adzan berkumandang, bukan usai bedug ditabuh berdentam-dentam, maka bisa aku pastikan, bahwa itu adalah pengumuman kematian.
Dan setelah itu, aku pasti lari tunggang langgang mencari siapapun, menuju keramaian, menghilangkan ketakutan yang mencengkeramku barusan dalam kesenyapan. Dan lebih dari itu, yang sangat tidak aku inginkan, adalah nama Nyi Jah yang disebutkan usai kalimat "Inna Lillah Wa Inna Ilaihi Roji'un".
"Ibu, bagaimana nanti jika Nyi Jah mati?" tanyaku pada Ibuku, seraya beliau mengelus lembut kepalaku yang berada dalam pangkuannya.
"Kenapa Nak? Ada apa dengan Nyi Jah? Kasihan Nenek Tua itu, tidak diperhatikan keluarganya," jawab ibuku penuh keprihatinan.
"Dia pasti jadi Jerangkong Bu, rohnya gentayangan menakuti siapapun," ujarku.
"Huss! Tidak boleh bilang gitu, tidak baik," tegur ibuku.
"Kenapa Bu? Bukankah dia tidak pernah sholat? Tidak puasa? Bukankah Ibu pernah cerita, telah belasan tahun Nyi Jah ada di gubuk itu," selaku.
"Anakku, tidak ada ceritanya orang mati bisa bangkit lagi, apalagi menakut-nakuti, ruhnya telah kembali pada Allah," tukas Ibuku.
"Tapi cerita-cerita itu Bu? Pocong, Jerangkong, Wewe Gombel, Sundel Bolong, Endas Glundung, kemamang? Bukankah itu dari orang-orang jahat yang tak pernah sholat?" Aku masih menyangkal dalam keluguanku, di tengah perasaan takutku akan kematian Nyi Jah.
"Tidak anakku, itu hanya ulah setan, yang ingin membuat fitnah dengan menjelma menjadi orang yang meninggal tadi, sehingga dengan itu, semua orang akan menggunjingnya. Tak sadar tercebur dalam dosa besar. Dan setan akan gembira jika usahanya berhasil," terang ibuku.
Aku mengangguk-angguk pelan, bisa aku pahami kata-kata ibuku. Tetapi ketakutanku tak kunjung pergi. Aku tetap berharap, Nyi Jah tidak mati.
Dan sosok seram Nyi Jah, selalu membayang di pelupuk mataku menjelang kupejamkan mata, tidur di serambi Masjid desa beserta teman-teman sebayaku. Memang aku jarang tidur di rumah, memalukan jika anak seusiaku masih tidur di rumah dalam dekapan ketiak ibu.
Dan menjelang tidur, Selalu saja mataku terlebih dahulu menerawang menatap langit-langit masjid yang penuh sarang laba-laba. Jika masih hidup saja Nyi Jah begitu menghantui, bagaimana kelak jika mati?
Maka tidur di antara teman-teman, adalah selalu pilihanku, di samping hangat, juga lebih menentramkan hatiku yang kalut oleh takut. Akan didampingi gendruwo bagi penakut yang berani-berani tidur di tepi gerombolan. Itu teror yang aku terima dari teman-temanku.
Karenanya pula, aku lebih suka buang air kecil usai Isya' saat hari belum terlalu gelap, daripada harus terbangun malam-malam untuk menuju kamar kecil masjid yang sepi, licin, gelap tanpa penerangan. Sosok Nyi Jah selalu menghantuiku di kamar kecil itu.
Sebenarnya dia tidak sendiri, beberapa meter dari depan gubuk reotnya berdiri kokoh rumah anak pinaknya. Tetapi sebuah kecelakaan motor beberapa belas tahun silam, merubah hidup Nyi Jah menjadi memilukan. Pikun, lumpuh dan jompo. Anak-anaknya tega mengasingkan nenek tua itu seorang diri, tanpa diberi fasilitas yang layak bagi orang lanjut usia yang tak mampu apa-apa lagi. Itu kisah yang kudengar sedikit tentang Nyi Jah.
Aku hanya menerawang membayangkan wanita tua itu, bukankah itu sebuah kedurhakaan yang luar biasa? Ah, pikiran kanak-kanakku masih belum mampu memahami semua itu, yang aku dengar dari Pak Guruku, bahwa menaruh orang tua di panti jompo adalah bentuk daripada kedurhakaan yang sangat berat, apalagi ini menelantarkannya dengan memberinya makan seperti memberi makan kucing. Aku coba menganalogikan saja.
Memang hari-hariku tiap berangkat sekolah dan tiap pulang sekolah, selalu sama, diantar dan disambut mata nanar Nyi Jah. Itu yang selalu membuatku ketakutan, meski aku tahu, pandangan mata itu tak sedang menatap apa yang ada di depannya, entah berkelana ke mana.
Pernah pula kudengar kisah, bahwa Nyi Jah pernah dimandikan paksa oleh tetangga-tetangga yang tak tahan dengan baunya. Ditelanjangi dan disiram digosok pakai sabun cuci di sumur terbuka, sehingga jadi tontonan anak-anak. Itupun keluarganya hanya diam dan melihat adegan itu. Miris.
Nyi Jah? Tentu saja berteriak-teriak meracau tidak karuan, memberontak tidak mau dimandikan. Setelahnya, dia menggigil kedinginan dan terus mengomel dengan bahasa yang tak lagi bisa dipaham. Sebagian orang menyebutnya, gila. Mak Lampir, Nini Pelet, dan sebagainya dari tokoh-tokoh seram yang sering kudengar kikik tawanya di sandiwara radio sore hari.
Sugesti bakal perubahan Nyi Jah menjadi jerangkong jika mati nanti telah begitu kuatnya menancap dalam benakku. Kata-kata ibuku tentang fitnah setan yang selalu kugunakan untuk menepis ketakutan itu tak mampu mencerabut sugesti yang setiap saat didengung-dengungkan beberapa teman sepermainanku.
Aku selalu berharap, sedang tidak ada di desa jika memang Nyi Jah mati nanti, biarlah dia mati di hari lebaran saat aku ada di kota berlibur di rumah kakekku. Seminggu setelah kematiannya, baru aku balik. Itu yang aku inginkan setiap benakku teringat sosok Nyi Jah.
# # #
Musim hujan tak kunjung selesai, di mana-mana aku dengar banyak desa sepanjang bantaran sungai Bengawan Solo mengalami bencana kebanjiran. Desaku pun terancam oleh luapan Bengawan Solo yang begitu mengerikan.Seisi desa sibuk, menggalang penduduk untuk bahu membahu meninggikan bendungan darurat. Karena volume air bengawan solo yang terus meningkat. Kecemasan seisi desa berpusat pada banjir yang akan melanda.
Aku masih dengan aktivitas harianku, berangkat sekolah, meski keadaan desa sedang siaga satu, walau aku takut desa akan kebanjiran saat aku berada di sekolah. Ketakutan baru yang membuatku lupa dengan Nyi Jah. Entah aku sama sekali tak ingat, yang aku tahu adalah, desaku mau kebanjiran, maknanya aku bakal tidak bisa sekolah.
Namun sore yang sedang mendung gelap itu benar-benar lain, sebuah pengumuman di Masjid, yang aku kira pengumuman agar penduduk bekerja bakti seperti biasanya, ternyata bukan, tetapi pengumuman kematian. Aku terkesiap, siapa yang meninggal di saat sangat genting ini? Apakah akan ada yang menguburkan?Dan aku terpaku di tempatku, ketika nama yang diumumkan ternyata Nyi Jah ! Dunia seketika gelap, ketakutan luar biasa menyergapku, aku berlari mencari ibuku sebelum menghambur ke pelukannya dengan ketakutan yang tak bisa kugambarkan. Ibuku heran dengan sikapku yang tak biasanya?
"Kenapa Nak?"
"Nyi Jah bu, Nyi Jah..." tak bisa kuteruskan kata-kataku. Dan yang kurasakan setelah itu adalah pelukan hangat ibuku yang sedikit menghilangkan takutku.
Malam itu mataku tak bisa terpicing, aku tidak berani tidur di masjid. Aku tidur dekat ibu dan adik-adikku. Usai Maghrib tadi Nyi Jah segera dikuburkan, sebagian penduduk mensemayamkan tubuhnya. Banyak kisah seram kudengar dari teman-temanku usai maghrib itu juga. Bahwa jenazahnya tidak bisa diangkat, terasa berat, padahal tubuhnya kecil dan ringkih, bahwa kerandanya hampir jatuh, dan sebagainya, dari cerita-cerita tak lumrah yang membuatku serasa hampir mati kaku karena ketakutan.
Dan saat aku mendekapkan wajahku ke bantal, di malam yang semakin larut, tiba-tiba corong masjid bergemerisik, aku mendongak cepat, ada apa ini? Malam-malam begini?
Semuanya berubah menjadi kekalutan yang luar biasa, ternyata bendungan desaku jebol. Air sungai Bengawan Solo masuk dengan begitu dahsyatnya ke desaku, pengumuman himbauan segera mengungsi diselingi tabuhan kentongan tanda bahaya dari poskamling-poskamling bertalu-talu memecah keheningan malam bergerimis.
Oleh ibuku, aku dan adik-adikku dituntun menuju masjid yang memang bertingkat, desa telah gelap gulita, karena aliran listrik telah padam.
Hanya barang seadanya dan buku-buku sekolah yang bisa aku bawa ke masjid. Setelah itu aku tertidur dalam perasaan yang tak menentu.
# # #
Pagi ini aku harus mengungsi meninggalkan desaku yang tenggelam oleh banjir. Oleh ayahku, aku beserta ibu dan seluruh adikku, diungsikan ke kota, ke rumah kakekku.
Sejenak, masih sempat aku berdiri di tanggul bendungan tepi desaku. Kuedarkan pandanganku melihat desaku yang kini seolah menjadi danau maha luas. Jauh kulempar pandanganku ke kaki langit yang pagi ini tampak cerah.
Tiba-tiba aku teringat seseorang, ya, Nyi Jah, nenek tua itu. Begitu pilu nasibnya, kematiannya pun disambut oleh banjir yang menenggelamkan desaku. Hanya berselang beberapa jam dari pemakamannya saja.
Namun setidaknya, dengan bencana itu, aku bisa memastikan satu hal, mengingat seluruh penduduk mengungsi meninggalkan desa, bahwa Nyi Jah, tenang di alam sana, dan tidak akan menjadi jerangkong. (*)
Makkah, 18 Maret 2011, mengenang masa kecil.. Based from true story..