[ Catatan Khusus ] : GHOST WRITER... SEBUAH KEJAHATAN MORAL

Mau tak mau, kita pasti sangat sadar dan mengakui, bahwa saat ini kejujuran adalah hal yang semakin memudar dan lambat laun menjadi sulit ditemukan.

Kita dengan begitu jelas melihat banyak sekali kebohongan, penipuan, pemalsuan, manipulasi, yang terjadi di depan mata kepala dan hidung kita, di seluruh segi kehidupan.

Sampai pada tingkat kita lemah dan sama sekali tak berdaya menghadapinya, meski sekedar nasehat, alih-alih merubahnya. Jadinya pasrah mengelus dada saja, mengenaskan.

Pun, diri kita sendiri bukan sekali dua kali mencederai dan menelikung kejujuran itu sendiri meski mungkin dalam skala kecil. Pendek kata, pada saat-saat tertentu bisa jadi kita meragukan kejujuran dalam diri kita sendiri. Atau diam-diam mencoba mengingkari diri dengan melegalkan tindakan menipu yang diri kita sendiri membencinya.

Padahal salah satu asas, salah satu pondasi utama daripada agama yang kita peluk, salah satu penyangga utama moral, adalah kejujuran. (saya kira, semua agama menjadikan kejujuran sebagai asas mereka)

Adalah tentu sebuah hal yang tertolak secara naluri dan akal sehat jika seseorang membolehkan penipuan. Manusia manapun, selama belum gila, maka dia tidak akan rela dirinya ditipu mentah-mentah. Dalam keadaan ini, ghorizatul baqo' (naluri mempertahankan diri) yang tertanam dan menjadi fitrah setiap makhluk, seketika berbicara, bahwa dia menolak penipuan dan tak mau ditipu.

Lantas bagaimana dengan penipu itu sendiri? Atau yang terlibat dalam penipuan? Kita pasti sepakat, bahwa orang-orang ini, telah kehilangan naluri kemanusiaannya dan kehilangan kepekaan sebagai manusia. Orang seperti ini, betul-betul kurang ajar.

Penipuan, kebohongan, adalah sifat yang paling dibenci oleh Nabi kita. Sifat yang paling dikutuk oleh kemanusiaan.

Oke, sampai titik ini, saya yakin, kita masih satu suara, satu hati, satu pikiran, sepakat bahwa hal-hal di atas adalah tidak benar secara moral, sosial, secara syariat, juga secara kemanusiaan.

Beberapa waktu yang lalu, melalui inbox, saya sempat ditanya dan dimintai pendapat mengenai fenomena ghostwriter (penulis bayangan). Saya bertanya, bagaimana ghostwriter itu? Katanya, adalah kita menulis untuk orang lain, dan kita dibayar atas tulisan itu.

Lantas saya bertanya, kemudian saat terbit, tulisan itu muncul atas nama siapa? Dia jawab, atas nama orang itu. Bukan kita? Lanjut saya. Bukan, tapi atas nama dia, jawab teman tadi.

Sejenak saya diam, lalu saya bertanya, apakah hal ini, yang dilakukan orang itu, dengan memesan tulisan pada orang lain, lalu tulisan tersebut terbit atas nama dia, bukan atas nama penulis aslinya, adalah bukan merupakan suatu penipuan?

Dan yang dilakukan penulis itu, dengan menjual tulisannya, hanya untuk beberapa lembar rupiah yang mungkin habis hanya dalam beberapa waktu saja adalah bukankah bentuk daripada membantu penipuan? Berkonspirasi membohongi publik?

Teman tadi diam dan berkilah, Kan sama-sama untung, dia dapat tulisannya, dan saya dapat uangnya, lagi pula kita sama-sama sepakat, dan ini juga bukan plagiat. Oke, apakah lantas dengan sama-sama untung itu, dengan sama-sama sepakat, kemudian menjadi pelegalan atas sebuah penipuan yang merupakan sebuah tindak kejahatan moral yang paling keji?

Sebuah kejahatan, meski disepakati oleh seluruh orang di muka bumi, tetaplah akan menjadi kejahatan, tak akan berubah.

Bahkan kalau boleh ekstrim mengatakan, tindakan ini, ghostwriter, lebih memalukan daripada plagiat. Karena plagiat adalah ibarat perampokan, dan ghostwriter, adalah menyerahkan kehormatan secara sukarela, mau diperkosa rame-rame.

Dalam kaidah fiqih dinyatakan, (Laa yunsabul qoulu ila ghoiri qo-ilih). Sebuah perkataan, tidak bisa disandarkan kepada selain pengucapnya. Dan dalam hal ini juga, adalah sebuah tulisan.

Apapun bentuknya, seseorang tidak bisa mengakui tulisan orang lain. Ia akan tetap menjadi karya daripada penulis itu sendiri. Sampai hari kiamat.

Lantas dengan begitu mudahnya juga seorang penulis menjual ilmunya hanya untuk bertahan hidup? Apakah Segitu hinanya ilmu (apapun, tak harus agama) sehingga dijual dengan uang, hanya untuk urusan perut? Amazing ! Ajab jab !

Apalagi jika yang ditulis berkenaan dengan agama, saat itu pula dia terjatuh dalam penipuan sekaligus menjual agama untuk kepentingan dunia. (yasytarunal hayata dun-ya bil akhiroh), kelompok yang diancam oleh Allah Ta'ala dengan siksaan pedih kelak di hari kiamat.

Segitu mudahkah kita menjual ilmu? Apa tidak ada cara yang lebih terhormat untuk mendapatkan uang dari pada menjadi penipu?

Jika di urut melalui ilmu mantiq, melalui muqoddimah sughro dan muqoddimah kubro, maka natijah (result) daripada penulis bayangan/ghostwriter, adalah... Penipu.

Nabi bilang, (Man Ghossya, fa laisa minna). Siapa yang menipu, maka dia bukan masuk golongan kita. Muslim. Nah !

Dalam ilmu Jarh wat Ta'dil, orang seperti ini, seketika langsung mendapat gelar Muttaham bil kadzib (pembohong), fasiq, waddho' (pemalsu), dajjal, dan seketika didiskualifikasi dari jajaran orang-orang tsiqoh, serta seluruh riwayatnya dinyatakan tertolak dan lisensi periwayatan haditsnya dicabut. Meski kehidupan sehari-harinya orang ini rajin beribadah, rajin puasa, rajin qiyamullail.

Adalah kehilangan kepekaan sebagai manusia, jika boleh dengan kejam saya mengatakan. Tindakan seperti ini tak akan muncul dari orang yang mempunyai naluri yang selamat (fitroh salimah).

Tindakan ini juga muncul sebab kurangnya rasa takut (khosy-yah) seseorang pada Allah, menganggap ringan sebuah perbuatan yang di matanya remeh, tapi ternyata menurut Allah adalah masalah besar.

Bukankah kelak segala sesuatu akan dipertanggung jawabkan? Jika boleh mengilustrasikan peristiwa hisab (perhitungan amal) di hari kiamat, seperti ini, coba bayangkan, saat Allah bertanya pada seorang doktor yang disertasinya hasil tulisan ghostwriter, saat ditanya, ini tulisan siapa? Apa dia bisa bohong di hadapan Allah? Kemudian sang ghost-nya dipanggil dan ditanya hal yang sama, apa lantas dia bisa mengelak? Lalu kedua-duanya dicap di hadapan manusia mulai zaman Nabi adam sampai terakhir sebagai penipu.

Apakah sebagai muslim tidak ingat akan karakteristik yang digambarkan Nabi, bahwa orang mukmin, itu mungkin zina, tapi dia tidak akan berbohong, tidak akan menipu. (Al-mu'min qod yazni, wa lakin al-mu'min laa yakdzib)

Menuliskan skripsi, tesis, disertasi, apalagi. Hingga membuat seseorang meraih gelar, sementara dia ongkang-ongkang kaki bahkan ide pun tak ada. Meraih gelar tapi dengan jalan menipu? Ya Subhanallah? Jadi jika dia dapat pekerjaan dengan ijazahnya itu maka selamanya uangnya tidak akan berkah sebab didapat dari hasil menipu. Orang seperti ini pula yang membuat rusaknya sistem dalam sebuah institusi bahkan sebuah negara, karena tidak memiliki kemampuan sebenarnya (idza wussidal amru ila ghoiri ahlih, fantadzir assa'ah)

Dan orang yang bekerja menulis untuk sarjana palsu tadi, juga turut andil membantu kebohongan. Dan bahu membahu dalam kejahatan, dosanya dihitung sama dan kolektif.

Di inbox lain, saya pernah ditanya lagi soal ini, dan saya kembalikan pada penanya tadi untuk menggunakan naluri dan akal sehatnya.

Di kesempatan lain saya ditanya hukumnya secara fiqih, dan saya berani menjawab, bahwa pekerjaan ghostwriter adalah haram hukumnya. Dengan berbagai dalil pendukung. Serta tak ada alasan darurat apapun, sebab dampak daripada perbuatan ini yang berjangka panjang sehingga keluar dari batas darurat yang membolehkan sesuatu yang awal mulanya terlarang.

Akhir catatan, risalah ini, kami arahkan pada semua penulis, sebagai Nasihat Lillah, baik untuk penulis junior dan terlebih penulis senior yang berkedudukan sebagai qudwah, panutan daripada penulis junior.

Pada akhirnya, kita semua harus sadar, harus selalu tahu, bahwa Allah itu tahu semua pergerakan kita, lintasan hati kita, terang-terangan ataupun yang terpendam di hati... Wallahu ya'lamus sirro wa akhfa.

Ittaqillah... Haitsuma kunta.. Takutlah pada Allah, di manapun kalian berada.(*)

Makkah, 3 R. Awwal 1432 H