Kekerasan Rumah Tangga... Tidak diajarkan oleh Islam

Dalam catatan kemarin, sedikit aku memberikan isyarat dalam sebuah paragraf pendek, tentang surat annisa' ayat 34 yang berbicara soal bagaimana cara suami menyikapi istrinya yang sedang ngambek.

Arti lengkap dari ayat itu adalah berikut : "... Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan "pukullah" mereka..."

Nusyuz sendiri itu semisal ngambek berat sehingga istri tidak patuh lagi pada suami, berani membentak dan membantah, dan bisa jadi kabur dari rumah suaminya.

Dan jika melihat teksnya apa adanya, sekilas seolah-olah diperbolehkan kekerasan dalam rumah tangga. Tapi apa memang benar seperti itu? Mengingat Islam dalam intruksi umumnya memerintahkan untuk berkasih sayang terhadap seluruh makhluk, belum lagi luhurnya ajaran moral Islam yang berkenaan dengan ini.

Maka tidak heran jika ayat ini dijadikan target bagi musuh-musuh Islam, sebagai propaganda empuk bahwa Islam tidak menghargai wanita. Dan bagi muslim yang pemahaman akan agamanya kurang, dengan sangat mudah sekali termakan propaganda murahan ini.

Lantas, apa sebenarnya arti kalimat "Wadhribuhunna", (pukullah) di situ? Apa memang benar diartikan sesuai arti kalimat sebenarnya yang memang "memukul"? Ataukah ada arti lain? Mengingat banyaknya kalimat dengan kata sama (dhoroba) dalam al-Qur'an, tetapi ternyata tidak berarti memukul.

Semisal ada kata "Dhoroba", tetapi berarti "membuat contoh", "mencari rizki", "menegakkan", "bepergian", "pencegahan", "menurunkan dengan cepat", dan lain sebagainya. Intinya kata "Dhoroba" tidak hanya berarti "memukul" saja.

Memang dibeberapa ayat, kata "dhoroba" digunakan dengan makna sebenarnya, yaitu memukul, akan tetapi obyek pukulan itu seluruhnya benda mati, semisal batu, laut (dalam kisah Nabi Musa), atau sapi mati (dalam kisah di surat al-Baqoraoh). Atau pada ayat-ayat yang menerangkan kemurkaan Allah pada orang kafir.

Kembali kepada bahasan, lalu lantas apa arti yang pas bagi kata "dhoroba" dalam ayat annisa' itu? Dibenarkan kah seorang suami memukul istrinya saat dia ngambek?

Sebelumnya, tentu hal yang sangat tidak tepat jika ada seorang suami seketika menggebugi dan menempeleng istrinya dengan alasan diperintahkan dalam ayat ini. Sebab peneguran terhadap istri yang ngambek dan tiba-tiba membangkang, melalui proses dulu. Tidak lantas main tangan seenaknya (itupun jika dibenarkan), di sana ada nasehat, bicara baik-baik, dibiarkan tidur sendirian di ranjang.

Nah setelah itu, diapakan? Apakah boleh dipukul? Sebab ternyata pada interaksi yang lebih dari itu, yaitu jika sudah tidak mungkin bersatu lagi, maka solusi terbaiknya adalah bercerai dengan keharusan bersikap baik pada istrinya.

Nah, wong yang saat cerai saja masih diharuskan bersikap baik, masa' ketika masih dalam ikatan perkawinan, masih serumah, malah memukul? Sangat kontradiksi sekali.

Sebagian ahli tafsir, melihat kenyataan ini, sebagian mencoba mengartikannya dengan memukul tapi hanya pakai sebatang siwak yang kecil. Tetapi kan tetap memukul, dan itu berpengaruh sekali pada psikologi wanita yang perasaan lembutnya lebih dominan.

Namun di sana, ada minoritas ulama' yang mengartikan "dhoroba" tadi dengan "membiarkan serta menahannya di dalam rumah", tidak boleh keluar ke mana-mana, dan dicuekin.

Tentu saja catatan ini adalah sekedar mempertanyakan, tidak memberikan jawaban tetap soal arti "Wadhribuhunna", karena itu tugasnya para Ahli Tafsir yang mumpuni, namun bisa jadi catatan ini (jika sampai pada mereka) menjadi semacam pertimbangan, insyaallah.

Karena memang pada prakteknya, sekaligus dalil terbesar, bahwa Nabi, orang yang mempraktekkan seluruh isi al-Qur'an dalam hidupnya, sekaligus al-Qur'an itu adalah akhlak beliau, sama sekali tidak pernah melakukan pemukulan meski sedikit saja terhadap istrinya. Paling-paling kalau beliau gemas melihat salah satu istrinya yang ngambek, malah beliau goda dengan mencubit hidungnya.

Dan pula, ketika beliau marah pada mereka, yang beliau lakukan adalah mencueki mereka serta membiarkan mereka di dalam rumah tanpa disapa atau dijenguk, dengan tetap memenuhi nafkah hidup mereka sehari-hari.

Akhir catatan, permasalahan masih membutuhkan pembahasan lebih rinci lagi dan catatan ini tidak memungkinkan untuk itu. Akan tetapi yang terpenting, dalam berumah tangga, contoh terbaik kita adalah Rasulullah Shallallah alaihi wa sallam. (*)