Diaryku (105) : MENGHORMATI BUKU :)

Beberapa kejadian ini, aku alami saat masih di Pujon. Sederhana sekali, tetapi ternyata mengandung pelajaran teramat besar dan justru sangat krusial yang berhubung langsung dengan kemanfaatan dan keberkahan sebuah ilmu, nah.


Seperti biasa, usai maghrib, jika bukan hari dakwah, maka sembari menunggu Isya', bersama Guru kami, Abi Ihya', kami mengisi waktu dengan membaca Al-Qur'an bersama. Bergilir memutar ayat perayat.


Saat yang satu orang membaca, yang lain menyimak, dan begitu seterusnya. Dan jika kala bacaan sampai pada ayat yang ada di halaman sebaliknya, maka pasti secara otomatis kita membuka dan membalik halaman tersebut, sebagaimana umumnya saat kita membaca buku, koran, majalah dan sejenisnya.


Nah, ketika membalik halaman al-Qur'an ini, aku melakukan sesuatu tanpa sadar. Kebiasaanku (yang ternyata menurut penelitian oleh tim medis, sangat tidak baik itu) yaitu membalik halaman berikutnya dengan menggunakan ujung jari telunjuk yang aku basahi sedikit dengan ujung lidah. Tahu kan? Kebiasaan beberapa orang, menyentuh ujung lidahnya dulu sebelum membalik halaman buku, sangat umum sekali.


Hal ini aku lakukan juga terhadap Al-Qur'an, tanpa aku sadari. Dan tak aku sadari juga, ada sepasang mata memperhatikanku.


Setelah kegiatan tadarrus itu selesai, sang empunya sepasang mata tadi, salah satu sahabat baikku, Kang Adzim namanya, mendekatiku.


"Wy, kalau membalik halaman buku, dengan jari yang kamu basahi pakai ludah, mungkin itu biasa. Tapi kalau al-Qur'an, jangan Wy, haram, bisa-bisa fasiq, sebab sama saja dengan ihtiqor, merendahkan Al-Qur'an, masa' al-Qur'an diberi ludah? tidak ada ihtirom, penghormatan sama sekali."


Degh.. Seketika rasanya jantungku berhenti berdetak.. Astaghfirullah, benar sekali apa yang dibilang kang Adzim. Tindakan tak sadarku barusan ternyata berhubungan dengan hal yang paling sensitif, penghormatan terhadap kitab suci.


Dan setelah itu, kebiasaanku tadi menghilang total, bahkan terhadap buku bacaan yang lain.


Lama kemudian, beberapa waktu setelah kejadian itu, aku sempat mengkritik keras salah satu redaksi senior yang aktif di Majalah yang dikelola Ma'had, Al-Mu'tashim. Pasalnya dengan tanpa ada rasa peka sama sekali, redaktur itu, menggunakan Al-Qur'an terjemah sebagai tatagan buat mouse komputer.


Aku marah-marah dan tak peduli pada senioritas yang memang berlaku di Pujon (ini negatifnya). Sebab yang dilakukan redaktur itu, sudah keterlaluan, apa tidak ada tatagan lain sehingga al-Qur'an yang dipakai? Dari mana ilmu bisa berkah kalau gini? Pantas oplah majalah makin hari makin menurun.


Waktu kejadian itu, aku termasuk tim redaksi. Meski kemudian aku memaklumi kelalaiannya karena dia bukan orang berlatar belakang pendidikan pesantren. Sejak muda kehidupannya berkecimpung di dunia akademis dan harakah-harakah Islam.


Penghormatan dan tata cara bersikap pada buku, itu adalah satu pendidikan khusus yang kami terima di pesantren. Mungkin, dan aku yakin, jenis tarbiyah ini tidak diketemukan di lembaga pendidikan yang lain.


Bagaimana tata cara kita membawa buku, menata buku, menumpuknya, mana buku yang harus di atas, mana yang di bawah.


Memang tak panjang lebar kode etik ini diajarkan dan tertulis dalam buku panduan kami sebagai pelajar agama, "Ta'lim Muta'allim", hanya beberapa baris saja, tak lebih dari setengah halaman. Namun prakteknya, melebihi segalanya.


Sangat aib bagi kami jika ada santri membawa buku seperti menenteng barang belanjaan, apalagi jika buku itu adalah buku agama terlebih al-Qur'an. Kami diajari untuk membawanya dengan mendekapkan pada pelukan di dada kami.


Menaruh bukupun, sangat tidak baik jika diletakkan di lantai, sejajar dengan kaki, kala duduk. Maka jika tak ada meja, kami meletakkan buku di pangkuan kami. Atau jika terpaksa, maka menumpuk buku bawaan di lantai berdasar urutan mana buku yg harus diletakkan di bawah.


Aku pribadi, tak pernah meletakkan pena, kacamata, atau apapun di atas buku. Jika aku menemukan ada pena di atas buku, pasti aku ambil dan aku sampingkan.


Kelihatannya sederhana bukan? Tetapi ini semua berhubung langsung dengan penghormatan tertinggi terhadap ilmu.


Catat, ilmu tidak akan memberikan cahayanya pada kita jika kita tidak menghormatinya dan mengagungkannya. Dan bentuk mengagungkan ilmu, adalah mengagungkan buku yang di halaman-halamannya tertera ilmu itu sendiri.


Kerap kita tak sadar meletakkan buku sembarangan, di mana saja. Apalagi al-Qur'an, jangan sampai kitab suci pengemban seluruh ilmu alam semesta itu berada di lantai. Kitab itu harus berada di tempat tinggi, tempat yang mulia.


Maka, kita akan memperoleh keberkahan atas ilmu itu, dengan berwujud ilmu yang bermanfaat dan berguna, di antaranya adalah bagaimana cara bersikap pada buku itu sendiri. Pada sarana dan prasarana ilmu.


Menumpuk bukupun kami diajari bertatakrama. Jika memang buku tidak bisa ditata dengan berdiri sejajar, karena tempat tidak mungkin, bisanya hanya dengan ditumpuk, maka buku yang memuat ilmu yang lebih utama, seyogyanya ditaruh di atas.


Semisal ada buku hadits, fiqih, bahasa, dan tafsir. Maka cara menumpuknya, bahasa di bawah, lalu fiqih, lalu hadits, dan paling atas, tafsir al-Qur'an. Pernah mendengar tata cara yang unik ini? Nah di pesantren hal ini dididikkan.


Pada akhirnya, tuntutan dan pelajaran terpentingnya adalah penghormatan tertinggi terhadap ilmu itu sendiri. Manfaat tidaknya sebuah ilmu, salah satunya adalah bagaimana cara kita bersikap terhadap ilmu dan semua yang berhubungan dengan ilmu itu sendiri.


Akhir catatan, kita masih harus banyak belajar :)