Diaryku (97) : NAIK-NAIK KE PUNCAK GUNUNG :D

Pujon, bisa jadi adalah satu-satunya pesantren di tanah air yang tak menerapkan sistem karantina penuh. Maksudnya, setiap pondok di Jawa, dalam salah satu proses pendidikan bagi santri-santrinya, menerapkan aturan larangan keluar area pesantren kecuali satu minggu sekali saja, atau bisa keluar tapi dengan izin berbelit luar biasa. Atau jika ada udzur syar'i saja semisal sakit.

Nah, Pujon tidak seperti itu. Di samping karena seluruh penghuninya adalah santri dewasa, pesantren ini juga pesantren pengkaderan dakwah yang mengharuskan santrinya tiap hari untuk keluar terjun di Masyarakat.

Jadi tentu saja soal keluar-keluar adalah hal yang mudah dan bebas. Pokoknya yang penting hadir dan harus ada di semua kegiatan pesantren, tak boleh absen barang sedikitpun kalau tidak mau dipidatoin oleh sejenis Lajnah indhibath (komisi disiplin).

Aku pribadi, bisa dipastikan setiap hari minggu selalu bergentayangan di Malang kota, kongkow di toko-toko buku. Itu hobi favoritku saat di Pujon. Ya tentu saja kalau keluar untuk urusan di luar dakwah, kita mesti izin, biar mudah mencarinya (zamanku belum umum pegang hape).

Tak cuma itu, keantikan lain Pujon yang berhubung dengan keluar-keluar ini, adalah seringnya kami mengadakan rihlah, atau rekreasi. Ini di luar rekreasi resmi setiap tahun di bulan dzulhijjah.

Salah satu program di Pujon yang khas adalah Rihlah Tadabbur Alam, rekreasi ke tempat-tempat wisata untuk merenungi keindahan alam. Berbeda dengan pesantren lain di jawa yang kalau rihlah melulu hanya ke Makam para Wali saja.

Lain itu, salah satu faktor yang membuat kami selalu menyempatkan diri untuk rihlah tadabbur alam jika ke manapun adalah seringnya dapat undangan pernikahan. Maklum, karena murid Abi Ihya' tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Di Pujon ini pula aku tahu daerah manapun di jawa. Sebelumnya aku adalah anak kuper yang jarang sekali keluar rumah apalagi jalan-jalan :D

bahkan kami sempat sampai rekreasi ke Bali pula. Ke pantai kuta :D

Lah apa nggak habisin biaya tuh? Kebetulan kami punya Bus mini sendiri, jadi ke manapun enak, paling ya urunan antar santri buat finansial selama di perjalanan. Itu saja. Soal tempat penginapan (plus konsumsi) pun mudah, sebab kami memanfaatkan semua kenalan kami yang berada di sepanjang rute perjalanan kami. Kami hubungi mereka untuk kami singgahi, dengan begitu kami pun bisa mengirit dana. Enaknya punya banyak kenalan.

Alhasil, setiap kami keluar bersama-sama ke suatu daerah manapun, dalam rangka acara apapun, maka kami pasti menyempatkan diri untuk mampir ke tempat-tempat wisata yang kami lalui sepanjang rute perjalanan kami.

Konyolnya, temen-temenku paling tidak betah kalau melihat lapangan sepakbola atau alun-alun kota. Jadi bisa dipastikan, jika kami melewati lapangan, seketika seisi bus minta berhenti. Kebetulan juga bus disopiri oleh rekan-rekan sendiri. Akhirnya semuanya turun untuk bertanding sepakbola (kemanapun, bola adalah benda wajib yang harus ada di bagasi bus kami). Rasa persaudaraan kami terpupuk melalui jalur ini.

Namun, kami tidak hanya sekedar berekreasi saja. Di tempat-tempat wisata itu kami mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan dakwah sekaligus uji nyali. Menjadikan rekreasi bernilai ibadah, itu yang diajarkan Abi Ihya' pada kami.

Sholat berjamaah, orasi, mengkaji kitab yang memang sengaja kami bawa dari pesantren, semua kami lakukan di tempat wisata. Sekaligus tentu bertafakkur merenungi keindahan alam. Sebelum akhirnya kami bebas berkeliling untuk bermain, atau apa saja. Ini yang selalu kami lakukan di manapun.

Jadi tontonan dong? Itu pasti, dan memang juga biar masyarakat mendapat suasana baru yang lain dengan pemandangan aneh kami. Lah apa itu bukan namanya riya'? Pamer ibadah? Soal itu kembali ke hati dan niat masing-masing yang tak ada mengetahuinya kecuali hanya Allah.

Gara-gara ini pula, setiap aku pulang ke Parengan Lamongan, maka pasti aku sempatkan diri untuk rihlah ke Tanjung kodok, gua maharani (WBL sekarang), gua akbar dan pantai-pantai di jalur pantura Tuban. Sambil menggelar tikar, menikmati bekal, dan merasakan sejuknya angin laut yang menerpa. Allahumma amboi indahnya.

Kalau pas tak ada uang, maka aku pilih melapangkan hati dengan duduk menikmati aliran sungai Bengawan solo yang tenang, atau belaian hamparan sawah yang seluas dan sejauh mata memandang di tepi desaku.

Terus terang, bagiku pribadi, kontemplasi model ini lebih terasa ruhaninya daripada model rekreasi atau ziarah yang lain. Jika memang kita meniatkannya untuk menghibur diri sekaligus merasakan keagungan Allah. Pasti ada rasa lapang yang luar biasa, jiwa yang fresh usai kita berekreasi ke tempat-tempat wisata ini.

Lah kan itu identik dengan tempatnya orang maksiat, muda-mudi bermesraan melebihi batas, dan lain sebagainya? Nah di sini kita dituntut untuk bagaimana belajar menetralkan hati dari semua itu. Mengingat Allah di kala semua orang sedang lalai. Al-Kholwah Fil Jalwa. Hati dengan Allah, tapi fisik dengan manusia. Ini adalah salah satu puncak daripada ibadah itu sendiri

Banyak sekali ayat dalam alqur'an yang menganjurkan kita untuk merenungi keindahan alam. Bukankah tafakkur adalah ibadah terbesar? Tafakkaru fi ala-illah.. Merenunglah akan keagungan ciptaan Allah.

Sebab melalui tafakkur ini, meski sederhana, kita akan menemukan siapa Pencipta kita, kita akan tahu Yang Mencipta kita. Dan kita akan meresakan ketenangan yang luar biasa.

Tidak percaya? Cobalah :)